Langit Mendung, Wajah Politik Pembangunan Kota Jakarta
Pulau Jawa, khususnya Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia, hari ini masih dijadikan sebagai sentral semua proses pengambilan kebijakan nasional, yang mempengaruhi penentuan arah kebijakan pemerintah di daerah lain. Sebagai daerah sentral kebijakan dan pertumbuhan ekonomi, tentu saja beban resiko yang dialami kawasan ini luar biasa beratnya. Ditambah dengan model pembangunan yang menggunakan konsep sentralistik dan kapitalistik, dengan seringkali mengabaikan daya dukung alam yang sangat terbatas. Dengan kondisi faktual hari ini, dimana kurang lebih 10 juta jumlah penduduk padat Jakarta, yang mendiami daerah yang hanya memiliki ruas areal mempunyai luas 650 Km2/65.000 ha, yang terbagi dalam 5 Wilayah Kota yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Kepadatan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan luas Kota Jakarta telah membuat kondisi bertambah buruk dengan suramnya potret kehidupan pinggiran Jakarta yang rawan dengan persoalan-persoalan sosial. Jargon globalisasi telah menciptakan sebuah entitas baru masyarakat yang sangat konsumtif dan sengaja diciptakan oleh sistem kapitalisme yang mereduksi pola pikir masyarakat lewat tayangan iklan-iklan yang menjejal nilai-nilai konsumeristik, sehingga provinsi ini kemudian menjadi beban ekologi baru bagi wilayah-wilayah sanggahannya, antara lain Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang biasanya wilayah-wilayah tersebut dijadikan sebagai daerah tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) atau tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Tahun 2006, kondisi lingkungan hidup di Jakarta semakin mengalami penurunan kualitasnya. Sebagai Ibukota yang sekaligus menjadi sentral pengambilan kebijakan dan perrtumbuhan ekonomi Indonesia, Jakarta memiliki berbagai persoalan lingkungan hidup dan persoalan rakyat lainnya yang disebabkan oleh sistem pembangunan yang bertumpu pada kepentingan ekonomi semata. Jargon kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi rakyat, selalu dijual untuk melanggengkan sistem kapitalisme tersebut dengan melupakan aspek keselamatan rakyat yang seharusnya diprioritaskan oleh Pemerintah.
Jika kita melihat sepanjang perjalanan tahun 2006 ini, persoalan urban terus menerus menghantui dinamika kehidupan kota besar ini. Antara lain persoalan tingkat pertumbuhan penduduk yang cepat dan kemiskinan yang memang disebabkan oleh tidak adanya ruang lain yang bisa diakses oleh rakyat didesa-desa, sehingga pilihan menjadi pengungsi pembangunan di kota-kota besar seperti Jakarta sebagai sebuah keputusan yang harus diambil, meskipun terpksa harus hidup diemperan toko atau di kolong-kolong jembatan dalam kondisi hidup yang benar-benar tidak manusiawi.
Kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini semakin diskriminatif, antara lain penataan ruang kota yang menutup akses rakyat miskin untuk dapat berdaulat atas tanah, air dan udaranya serta akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonominya. Padahal prasyarat utama dari penataan ruang adalah bagaimana tata ruang dapat menjamin fungsi pelayanan alam dan keselamatan rakyat (ekologis), menjamin keberlanjutan hidup rakyat (ekonomis), dan menjamin fungsi-fungsi sosial pembangunan. Pra syarat penataan ruang ini seharusnya dapat membalikkan pandangan yang keliru dari Pemerintah yang banyak menggusur pedagang kaki lima atau rakyat miskin lainnya, dengan alasan untuk kepentingan ruang terbuka hijau (RTH).
Politik pembangunan kota Jakarta juga masih berpola pendekatan ekonomi kapitalistik dan tentunya banyak mengabaikan aspek keadilan kota bagi semua orang, terutama terkait dengan perbedaan kelas didalamnya. Pembangunan infrastruktur di Jakarta menggambarkan, bagaimana politik pembangunan kota ini memang ditujukan bagi kelas-kelas tertentu seperti pembangunan jalan-jalan yang notabene memberikan fasilitas yang berlebih pada orang-orang kaya yang memiliki kendaraan pribadi, dan membiarkan rakyat miskin terus bergelayut didalam kendaraan umum yang sudah tidak layak.
Bencana ekologis datang silih berganti dan telah menimbulkan banyak korban dan kerugian, antara lain longsornya TPA Bantar Gebang yang telah menelan korban jiwa yang diakibatkan oleh buruknya sistem atau manajemen sampah yang sampai hari ini belum memiliki undang-undang pengelolaan sampah secara nasional, krisis air yang terjadi di beberapa wilayah di DKI Jakarta, selain disebabkan oleh pencemaran air tanah di Jakarta dari limbah industri dan domestik, kelangkaan air bersih juga disebabkan oleh komersialisasi air lewat privatisasi air, yang juga memiliki kualitas yang buruk, bencana banjir sebagai bencana ritual yang selalu mengancam keselamatan rakyat dan tahun ini diprediksikan merupakan siklus 5 (lima) tahunan banjir besar seperti yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002 yang telah menjadikan collapsenya sistem kehidupan masyarakat di Jakarta.
Sepanjang tahun 2006 inipun kita dapat melihat bahwa proses demokrasi untuk menyampaikan pendapat masih mengalami tekanan-tekanan, yang biasanya dengan menggunakan organisasi massa yang berbasis agama dan etnis, selain itu juga disepanjang tahun 2006 ini, pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) masih sangat jelas dipertontonkan secara vulgar. Berbagai persoalan urban ini justru dihadapi dengan sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi rakyat yang dilakukan oleh state dan juga non state sebagai aktor yang secara kasat mata telah memainkan pola-pola kekerasan untuk berhadapan dengan rakyat yang sedang menuntut hak-haknya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Disini kita melihat, negara terbukti tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi seluruh warga negaranya, baik terkait dengan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), maupun hak sipil dan politik (sipol).
Padahal, Indonesia sudah meratifikasi konvenan hak ekosob dan sipil pada bulan September 2005 yang berbunyi ”Negara mengakui hak setiap orang untuk memperoleh standar hidup yang memadai untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan perumahan yang mencukupi dan memperoleh perbaikan terus-menerus mengenai kondisi-kondisi kehidupan”. Kekerasan dan penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mewarnai perjalanan satu tahun ini, tragisnya ini banyak dilakukan dengan menggunakaan PERDA No. 11/1988 sebagai alat legitimasi penggusuran dan mengatasnamakan kepentingan lingkungan hidup dan ketertiban umum.
WALHI Jakarta, mencoba mengajak kita semua untuk melihat kembali potret kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah banyak melanggar hak rakyat Jakarta untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk semua warga negaranya, dan melihat kecendrungan arah politik pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup di DKI Jakarta. Terlebih ditahun 2007 ini, seluruh warga Jakarta akan mencoba melahirkan proses demokrasi baru dengan pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) DKI Jakarta secara langsung. Meskipun sampai sejauh ini, kita belum melihat adanya calon Gubernur DKI Jakarta yang memiliki komitmen politik yang jelas terhadap masa depan pengelolaan lingkungan hidup di Jakarta, dan juga komitmen politik terhadap persoalan-persoalan yang selalu menemani keseharian rakyat miskin kota.
Dalam catatan akhir tahun 2006 ini, kami membagi laporan ini kedalam beberapa isu penting terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan politik pembangunan kota yakni terkait dengan isu polusi udara, krisis air, persoalan sampah/pencemaran, lemahnya penegakan hukum dan HAM yang dilihat dari berbagai kasus ancaman kerusakan lingkungan hidup dan ancaman terhadap keberlanjutan hidup rakyat, terutama bagi kelompok-kelompok rentan yang selama ini selalu menjadi korban pembangunan seperti kelompok miskin kota, kelompok perempuan dan anak-anak.
Laporan akhir tahun WALHI Jakarta ini diharapkan menjadi sebuah catatan penting dalam sejarah politik pembangunan kota Jakarta, harapan besar tentu saja agar catatan akhir tahun ini dapat menjadi alat penekan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merubah arah politik pembangunan, dengan memberikan penghormatan sepenuhnya terhadaap hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat dan pemenuhan hak asasi rakyat lainnya, demi terwujudnya pembangunan kota yang adil dan manusiawi untuk semua rakyat Jakarta, tanpa membedakan struktur kelas.
I. Selamat Datang di Kota Polusi
”Selamat Datang di Kota Polusi”, merupakan kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana buruknya kualitas udara di Jakarta. Saat ini, DKI Jakarta menempati urutan ke-3 setelah Meksiko dan Thailand, sebagai kota yang tingkat polusi udaranya sangat tinggi dan tentu saja sangat berpengaruh terhadap kesehatan rakyat terutama rakyat miskin kota yang selama ini sangat rentan terhadap bahaya polusi udara karena setiap harinya mereka harus bergelut dengan pekatnya udara kota Jakarta di sepanjang jalan-jalan dan trotoar-trotoar.
Bahwa udara yang bersih dan sehat adalah hak asasi rakyat tanpa membedakan jenis kelamin dan status sosial dalam masyarakat. Bahkan kerentanan rakyat miskin kota yang sehari-harinya harus bergelut dengan pekatnya polusi udara, harusnya menjadi prioritas utama bagi upaya pengendalian pencemaran udara. Dampak polusi udara terhadap kesehatan rakyat juga belum mendapatkan perhatian utama, anggaran untuk pengobatan yang disebabkan oleh penyakit yang ditimbulkan oleh polusi udara yang harus dikeluarkan oleh masyarakat Jakarta, yakni mencapai Rp. 1, 8 triliun pada tahun 1998 dan angka ini akan meningkat menjadi sekitar Rp. 4.3 triliun pada tahun 2015 apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan, padahal pengobatan di Jakarta sangat mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat miskin kota. Sehingga ungkapan orang miskin dilarang sakit, menjadi hal yang benar adanya.
Dengan tingkat kemacetan yang sangat tinggi, Jakarta merupakan wilayah yang memiliki karakteristik kota yang diidentifikasikan pencemaran udaranya disumbangkan oleh persoalan sistem transportasinya yang buruk. Sebagai catatan, sebesar 70% polusi udara berasal dari asap kendaraan bermotor, angka ini cukup menunjukkan kepada kita semua bahwa jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sistem transportasi makro yang baik, maka polusi udara sampai kapanpun akan melekat pada kota besar yang konon sebentar lagi akan mengkalim dirinya dengan sebutan megapolitan.
Untuk mengatasi persoalan polusi udara ini, berbagai komponen civil society peduli udara bersih dan mendorong pemenuhan atas hak udara yang bersih dan sehat di Jakarta, mendorong lahirnya sebuah kebijakan yang dapat mengendalikan tingkat polusi udara di Jakarta, yang kemudian secara politik PERDA No. 2/2005 tentang pengendalian pencemaran udara disahkan pada bulan Februari 2006. Kebijakan Pemerintah yang seharusnya menjadi sebuah amunisi baru untuk memberikan hak rakyat atas udara yang bersih dan sehat, justru hanya seperti kertas kosong, karena Peraturan Gubernur yang menjadi turunan dari pelaksanaan PERDA No. 2/2005 tersebut, baru satu PERGUB yakni PERGUB NO. 75/2005 tentang kawasan larangan merokok yang diterapkan, sementara 15 PERGUB yang lain masih jalan ditempat.
Hasil investigasi yang dilakukan oleh WALHI Jakarta dan Kaukus Lingkungan Hidup, dan juga berdasarkan pengaduan yang disampaikan melalui posko pengaduan implementasi yang dibuka melalui telp/fax/sms ke kantor WALHI Jakarta, didapatkan hasil bahwa Pemerintah tidak serius melakukan upaya pengendalian pencemaran udara dan memenuhi hak rakyatnya atas udara yang bersih dan sehat. Dengan indikator tidak adanya koordinasi yang jelas antar instansi terkait, lemahnya penegakan hukum dan tidak siapnya infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan PERDA No. 2/2005, termasuk lemahnya sosialisasi dan mengajak peran aktif masyarakat terhadap upaya pengendalian pencemaran udara.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga setengah hati untuk menerapkan PERDA tersebut, dengan berbagai kebijakan baru yang kontraproduktif dengan upaya pengendalian pencemaran udara di Jakarta. Kebijakan yang kontroversial tersebut diduga kuat untuk kepentingan industri, terutama industri otomotif yang merupakan penyumbang terbesar dari tingkat polusi udara di Jakarta, antara lain pemangkasan 33 pohon disepanjang jalan Sudirman-Thamrin untuk perluasan jalan dan rencana pembangunan 6 (enam) ruas jalan TOL.
Dipenghujung tahun, Pemerintah mengajukan sebuah program yang cukup mengejutkan. Program dalam rangka perbaikan kualitas udara perkotaan, dalam pertemuan Batter Air Quality (BAQ) yang sedang berlangsung di Yogyakarta dari tanggal 11-15 Desember 2006. Program yang bernama Strategi dan Rencana Aksi Nasional (National Strategy and Action Plan – NSAP) ini dipersiapkan di bawah payung dari Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (UAQ-i SDP). Program ini dikoordinasikan oleh Bappenas sebagai Executing Agency, dibiayai oleh pinjaman dari Asian Development Bank (ADB), dan diimplementasikan oleh konsorsium konsultan internasional dan nasional. Program tersebut dinilai cukup baik sebagai upaya pengendalian pencemaran udara di kota-kota besar seperti Jakarta, tapi kemudian menjadi tanda tanya besar ada skenario besar apa dibalik skema utang tersebut, dimana Jepang merupakan negara yang pengimpor kendaraan bermotor, sekaligus sebagai pemiliki saham terbesar di lembaga keuangan Internasional ini, dengan mengatasnamakan perbaikan kualitas udara dan lingkungan hidup di kota-kota besar di Indonesia.
WALHI Jakarta bersama Koalisi Anti Utang (KAU) menilai bahwa pinjaman ADB sama sekali tidak menyelesaikan masalah dasar pencemaran udara di perkotaan, yakni persoalan tata ruang dan buruknya system transportasi makro di kota-kota besar di Indonesia. pembatasan jumlah kendaraan pribadi yang menjadi sebab dari kemacetan dan polusi udara (JICA, 1996). Proyek utang ADB dan lembaga kredior lain berbasis teknologi padat modal jelas tidak berbanding lurus dengan komitmen peningkatan kualitas udara bersih. Bahkan, pengalaman membuktikan, pembelian stasiun pemantau udara sebagai instrumen standarisasi penilaian kualitas udara di 10 kota besar di Indonesia cenderung mubazir dan tidak dapat digunakan. Walaupun rakyat tetap harus menanggung pembayaran utang tersebut.
Tahun ini juga warga Jakarta harus kembali menelan pil pahit, karena Gubernur DKI Jakarta yang selama ini tidak memiliki political will yang baik untuk memberikan perlindungan terhadap warga Jakartanya atas udara yang bersih dan sehat, justru mendapatkan penghargaan atas upayanya melakukan pengendalian pencemaran udara di Jakarta. WALHI Jakarta bersama beberapa element lainnya secara tegas menolak pemberian penghargaan tersebut, karena justru berbanding terbalik dengan tidak adanya komitmen politik Gubernur DKI Jakarta dan sejumlah pelanggaran terhadap perundang-undangan yang telah dilakukan, yang justru akan memicu bencana ekologis yang lebih tinggi di DKI Jakarta.
Baca selengkapnya...