Sya…
Kamu pernah lihat jingga diatas mendung? Aku menemukan itu disini, diwaktu rasa rinduku memuncak pada sebuah asa yang dikemas dalam balutan nilai kesetiaan. Pun sakit dan menyesakkan, tapi jingga itu tetap menyemburat dengan penuh kedamaian. Disini, dikamarku yang paling luas dibandingkan dengan kamar lainnya yang dimiliki oleh kampus yang berada di Oudemoulstrat. Ketika aku menengok gerimis diantara tirai jendela, aku seperti melihat jingga itu menyemburat dengan sempurna.
Tatapannya yang masih kuingat dalam-dalam, sembari membayangkan alangkah kuatnya nilai itu bersemayam dalam hatinya. Nilai kesetiaan pada sebuah kebenaran akan sejarah, sejarah hidupnya, sejarah keibuannya, sejarah keistriannya, sejarah kewarganegaraannya, dan seluruh sejarah yang pernah coba dipangkas untuk diingat oleh anak cucunya karena dia tidak pernah bermimpi sejarah itu melukai masa depan anak cucunya. Rasanya,berapa banyak orang yang ingin melupakan sejarah hidupnya dengan berbagai cara.
Tapi jingga itu lain Sya, dia menampakkan hal yang lain, meskipun memiliki rasa yang kuat untuk melupakan sejarah. Aku melihat, disanalah nilai keabadian jingga itu meski dia berada diatas mendung. Dia begitu kuat, dia begitu sempurna, dia begitu percaya bahwa inilah cara dalam hidupnya untuk melalui sejarah. Tenggorokanku juga rasanya begitu kering, ketika sepucuk surat ditanganku yang diberikannya membuat aku semakin percaya bahwa alur hidup memang niscaya adanya, dan sesungguhnya itulah hakikatnya pembentukan jingga. Dalam genggaman tangannya yang begitu kuat, diantara kecilnya kepalan tanganku sambil meradang senja dan berharap agar butiran air mata tak menganggu apapun dan siapapun. Bukan hanya dia, tapi juga aku dan atau bahkan kebanyakan orang yang masih percaya bahwa kebenaran itu masih ada, paling tidak itu yang ada dalam hatiku.
Sya…
Sepucuk surat itu kini kupegang dalam genggaman tanganku, semilir angin yang merasuk perlahan-lahan di kamar ini semakin membuatku takut menghadapi jingga. Tapi puji Tuhan, diapun berdoa untukk agar Tuhan tidak menarikku dalam alur hidup yang sama. Tidak dinistakan oleh orang-orang disekelilingku, apalagi oleh negara yang dalam jiwa dan ragaku sudah tertanam itu sejak lama, paling tidak sejak aku mengenal pelajaran PMP di sekolah. Perlahan-lahan, aku kembali membukanya. Maaf jingga, aku selalu membuka surat ini, membacanya berulang-ulang. Mungkin itu tidak cukup membuat sakitmu terobati, tapi paling tidak aku ingin mengerti bahwa betapa kebenaran itu begitu mahal dan kuat menampung semua dalam pundakmu, menyimpannya rapat-rapat dalam hatimu.
Catatan bagi mereka yang mau mendengarnya
Pertama diterima kebenarannya
Sekilas saya menyatakan kebenaran saya namun kalau sudah semua orang menyatakan itu tidak benar, maka yang tidak benar itu menjadi kebenaran.
Saya berpesan kepada anakku, semoga menjadi pedoman hidupmu
Saya tetap merasa dipihak yang benar, tetap merasa apa yang dikatakan orang itu semuanya adalah hal tidak benar, semua meruapakan fitnahan bagi diri saya, dmana fitnahan itu dianggap sebuah kebenaran.
Kenapa orang menyatakan yang tidak benar ? mungkin ini adalah sekedar mencari keselamatan dirinya, padahal dia lupa kehidupan yang lain akan timbul dengan kebenaran yang kita buat.
Belum lagi kalau pembalasan ataukah hukum karma, tapi hal ini tidak begitu dipikirkan oleh karena kebenaran itu biasanya (selalu) terlambat datangnya. Menyebabkan banyak orang mau memilih kebenaran yang sebenarnya bukan kebenaran.
Anak-anakku, hati-hatilah dalam hidup ini, tetap berbanggalah bahwa bagaimanapun bapakmu tidak pernah merasa berbuat sebagaimana yang dikatakan oleh semua orang itu.
Saya tidak mempersalahkan mereka itu, karena saya tau mereka mau mencari keselamatan dirinya, sekalipun orang lain dikorbankan.
Hadapilah hidup ini dengan penuh kesatrya, sekalipun banyak orang tidak senang dengan kamu. Biarlah mereka itu mneyatakan bahwa saya tidak benar karena itu adalah haknya untuk menyatakan itu.
Saya tetap berbangga sampai dimanapun, bahwa apa yang dikatakan oleh saya itulah yang benar, dan yang lain itu adalah fitnahan yang penuh dengki.
Apa sebab banyak dari mereka itu dengki pada saya? Itu saya sendiri tidak tau.
Anakku, (putraku) mudah-mudahan saja doaku, engkau menjadi manusia yang bahagia. Bahagiakanlah ibumu yang nanti tetap mengasuh dirimu. Sayangilah ibumu yang tetap berkorban mau menderita untukmu. Melihat cobaan ini, mungkin saya tidak bisa lebih lama lagi memberikan kebahagiaan pada ibumu.
Kepada istriku, tabahlah hadapi hidupmu. Kau trepaksa akan melayarkan bahteramu sendiri dengan kesanggupanmu sendiri dan pemikiranmu sendiri.
Jangan gentar menghadapi hidup ini, karena hidup ini adalah penuh dengan tantangan dan cobaan. Kita tidak boleh mengeluh, karena mengelu adalah meruapakan usaha yang sia-sia.
Aku tak bisa lagi melanjutkan, air mataku tiba-tiba saja mengalir dan hampir jatuh di lembaran surat berikutnya. Tenggorokanku terasa kering dan teramat kering. Ya Tuhan, begitu beratnya cobaan ini untuk seorang perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya, bukan karena tangan Tuhan yang menghendakinya. Tapi kerakusan manusia oleh kursi kekuasaan. Tapi ketika kulihat, mata ibu kasim yang menatapku teguh, menguatkan lagi hatiku untuk melanjutkan alur cerita ini.
Isteriku,
Entah berapa lama nanti engkau sendiriran menghadapi hidup ini, ditengah-tengah gelombangnya hidup ini. Mudah-mudahan saya akan tahan dalam ujian, pada prinsipnya semua terserah padamu. Bagaimana kau akan menanggulangi hidup ini dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih, akan saya jadikan azimat dalam pengembaraan saya ini. Saya kira itu sudah cukup banyak. Sekarang, aturlah hdiupmu untuk anak-anakmu, agar mereka itu dapat bertumbuh menjadi manusia yang baik dan berguna untuk kemanusiaan. Do’akan jangan putus-putus, beri pada saya agar dapat memberi keselamatan diri saya. Maaf, dan ampunkanlah segala dosa-dosaku padamu, sebagai istriku kalau ada dosa padamu agar soal menyesalnya dan harapanku dimaafkan.
Hanya kepadamu manusia satu-satunya yang benar-benar saya telah banyak berbuat dosa, mungkin inilah pembalasannya pada diriku, tapi mengapa akibatnya menimpa kau juga istriku. Padahal kau tetap orang bersih, orang yang saya tau tidak berdosa.
Saya rasa ini tidak layak, tidak adil, karena dosaku kalian ikut memikulnya. Terlepas saya salah atau tidak dalam persoalan ini, tapi ini sudah meruapakan takdir Illahi pada diriku ini. Dalam selku sekarang, saya tidak dapat melihat alam lagi, hanya cahaya yang masuk melalui lobang 20 x 30 cm, itulah yang memberi saya petunjuk bahwa hari sudah siang ataupun sudah malam. Malam ini, saya akan lalui tidur di selku ini, sebagai malam pertama tanggal 8 April 1969.
Sya ... (III)
Posted by khalisah khalid at 8:22 PM 0 comments
Dampak Makro Produksi Agrofuel di Indonesia
Dalam Bacaan Ekologi Politik Feminis
Oleh : Khalisah Khalid
Meningkatnya permintaan bahan bakar nabati untuk pemenuhan energi yang dipandang tidak terlalu mencemari lingkungan hidup, terutama di negara-negara industri, telah mendorong terjadinya perluasan perkebunan penghasil bahan baku nabati. Kebijakan investasi global lebih diarahkan pada pemenuhan industri penghasil energi nabati, termasuk terhadap penyediaan bahan baku. Kondisi ini mendorong pada terjadinya “pemaksaan” perluasan perkebunan penghasil bahan baku energi nabati, di wilayah-wilayah yang “dipandang” mampu menyediakan lahan skala luas. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mentargetkan luasan yang luar biasa untuk menjadi hamparan perkebunan besar kelapa sawit, kedelai maupun tebu, yang diarahkan pada dukungan terhadap energi nabati.
Pilihan komoditi lalu diarahkan pada kelapa sawit, karena dipandang komoditi ini mampu menyediakan kebutuhan energi “hijau” dalam jumlah yang cukup besar. Hingga kemudian terjadilah beragam permasalahan di wilayah perkebunan besar maupun pada industri pengolahan dasar, semisal konflik tenurial, kekerasan, penghilangan lahan-lahan produktif, krisis air, hingga pencemaran.
Berbagai permasalahan umum yang hadir pada setiap rantai produksi bahan bakar nabati terhadap komunitas lokal, diantaranya adalah: (1) meningkatnya beban kelola rumah tangga; (2) hilangnya sumber pangan akibat hilangnya lahan produktif; (3) meningkatnya biaya untuk pemenuhan kesehatan, energi dan air; (4) hilangnya sistem sosial dan budaya; dan lain sebagainya.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa hubungan keduanya, jika ditarik pada garis sebuah entitas yang berjenis kelamin sosial perempuan. Dalam peristiwa yang ada diatas, nampaknya cerita perempuan sungguh jauh dari pembahasan tentang industri sawit, jika tidak mau dikatakan dihilangkan dari seluruh cerita tentang sawit. Dalam peristiwa kebanyakan yang bicara soal ekstraksi sumber daya alam, cerita perempuan menjadi sangat jauh dan seringkali kebijakan yang dipilih oleh pemerintah yang selalu bicara soal perluasan produksi, harga sawit, pasokan dan seterusnya yang tidak relevan dengan cerita kekerasan yang dialami oleh perempuan yang hidup di sekitar perkebunan besar kelapa sawit.
Selain berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai dampak dari agrofuel, ada hal mendasar lainnya yang secara spesifik dialami oleh perempuan. Ekologi politik feminis melihat aspek pengetahuan, hak atas kekayaan alam dan sumber –sumber kehidupan, termasuk di dalamnya aspek akses dan kontrol, serta aspek institusi pengurusan kekayaan alam dan perjuangan merebut kembali hak atas pengurusan kekayaan alam dari perspektif gender, kelas, etnisitas, dan aspek-aspek lain (Rocheleau, Thomas-Slayter, Wangari 1996).
Ekologi politik feminis sebagai pisau analisis karena pendekatan ini membuka peluang untuk melihat relasi kekuasaan dalam masyarakat yang dipengaruhi gender, kelas, etnisitas, agama, dan aspek-aspek lain. Pendekatan ini juga mengakui bahwa perempuan bukan entitas homogen dan bahwa perempuan memiliki kompleksitas posisi, fungsi, dan permasalahan yang dihadapi berdasarkan perbedaan kelas, etnisitas, dan hal-hal lainnya, sehingga pengalaman dan reaksi perempuan terhadap satu isu akan berbeda dengan perempuan lainnya.
Dengan menggunakan pisau analisis ekologi politik feminis, cerita yang diungkapkan oleh perempuan yang tinggal di area perkebunan besar kelapa sawit, mencoba untuk lebih dalam melihat bagaimana lapis kekerasan yang dialami oleh perempuan di perkebunan besar kelapa sawit disebabkan oleh penguasaan sumberdaya alam oleh para pihak yang memiliki kekuasaan, baik secara kultural maupun struktural dengan aktor utama negara dan pasar. Yang menghasilkan sebuah potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah. Dimana, peristiwa tersebut bisa berulang, berbabak-babak, berubah bentuk maupun pelaku.
Akumulasi dari beragam permasalahan pada penyediaan bahan bakar nabati, memberikan dampak yang lebih besar kepada kelompok rentan, yaitu perempuan dan anak. Dalam setiap rantai produksi tetes-demi-tetes bahan bakar nabati, terdapat beragam permasalahan yang menjadikan perempuan sebagai korban yang menerima dampak yang lebih besar di dalam sebuah komunitas korban bahan bakar nabati.
Sejak perkebunan besar kelapa sawit masuk, perempuan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap tanah, dan menempatkan perempuan sebagai buruh di perkebunan sawit tanpa adanya perlindungan formal sebagai tenaga yang membuahi dan menyemprot dengan menggunakan pestisida yang berbahaya bagi kesehatan perempuan. Konflik terjadi, bukan hanya karena terjadinya perbedaan persepsi antara komunitas lokal dengan pelaku pendukung agrofuel baik pasar maupun pemerintah. Konflik terjadi, karena kebijakan agrofuel telah mengabaikan pengetahuan dan pengalaman perempuan didalam mengelola sumber kehidupannya, khususnya sebagai penjaga dan pengelola sistem produksi rumah tangga dan produksi sosial. Bukankah pengabaian sebuah entitas dengan semua pengetahuan dan pengalaman yang melekat dalam dirinya sebagai sebuah bangunan tatanan social, merupakan bentuk yang paling mendasar dari sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia?
Jikapun, perempuan memiliki akses yang setara atas pekerjaan, namun kontrol mereka atas penghasilannyapun terbatas, atau sebenarnya tidak ada sama sekali. Perempuan dan laki-laki sama-sama mengerjakan sawit, namun karena pada tahap memanen dan mengangkut untuk dijual adalah para suami, sehingga upah diterima oleh suami. Suami yang mengerti akan kedudukannya dalam rumah tangga menyerahkan uang untuk dipegang istrinya tetapi bagi para suami yang tidak mengerti uang hasil upah mengerjakan sawit digunakan sendiri salah satunya dihabiskan ke kafe. Para suami juga kerap berbohong tentang jumlah upah yang diterima, si istri tidak bisa tahu pasti berapa upah yang diterima karena jumlahnya memang tidak tetap. Nampaknya, fenomena maraknya tempat-tempat hiburan malam dan dunia prostitusi dalam industri tambang, juga terjadi di perkebunan.
Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri sawit yang memang diketahui mempengaruhi air sungai masyarakat setempat. Kondisi ini bukan tidak disadari oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh perempuan, tapi mereka tidak punya pilihan ekonomi lain untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Terlebih, perkebunan besar kelapa sawit secara struktural juga membangun sistem kapital yang mampu menciptakan perubahan pola konsumsi pada perempuan dan masyarakat yang dibangun sedemikian sistemik oleh pasar, sehingga mampu merubah persepsi atau pandangan perempuan terhadap kebutuhan hidupnya dan bahkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri.
Potret kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup, yang dalam konteks ini dapat ditemui dalam cerita situasi global produksi agrofuel di Indonesia . Kelangkaan dari daya dukung alam yang dikeruk tanpa mempertimbangkan kerentanan dan keberlanjutan lingkungan, yang terjadi karena intervensi pasar dan negara, telah menyebabkan konflik terjadi di tingkat masyarakat dengan mengabaikan pengalaman perempuan maupun keberadaan perempuan sebagai subyek keberlangsungan reproduksi sosial, dan pada akhirnya menempatkan perempuan kelas paling bawah berada dalam kondisi terpuruk, terpinggirkan dan terabaikan.
Posted by khalisah khalid at 11:26 AM 0 comments
Sya (II)
Sya….
Keperempuananku tiba-tiba terus menerus menjadi pertanyaan yang sulit untuk kupahami, sesulit aku membayangkan pikiran kolonial Belanda yang begitu sempurna menancapkan kuku-kuku kolonialismenya di tanah kelahiranku. Bahkan, memorial succes story penjajahannya terhadap pribumi Indonesia, juga dibenamkan begitu kuat paling tidak di tempat istirahatku di Okkey Hostel di Amsterdam, semua sudut-sudut ruangan ini menggunakan nama-nama tempat yang aku pastikan kenal betul bertujuan untuk memperlihatkan tapak jejak penguasaan mereka. Ada tempat pertemuan yang diberi nama Jawa, tempat aku lahir dan besar di pulau ini.
Jawa yang sungguh terkenal dengan sistem per-Nyaian atau pergundikan, sebuah sistem penguasaan kolonial terhadap tubuh perempuan di Jawa dalam rangka pelanggengan kekuasaannya. Nyai-nyai yang dipelihara oleh kolonial Belanda, seperti yang dialami oleh Nyai Dasima yang dijadikan selir oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan sistem pernyaian, sampai saat ini menyisakan bentuk penindasan yang lain, untuk konteks saat ini banyak perempuan yang dijadikan istri simpanan oleh laki-laki, dengan tujuan penguasaan terhadap tubuh perempuan yang dimilikinya. Pun, seperti yang dialami oleh salah seorang perempuan Kwitang, yang mengalami Pernyaian modern. Bagiku, inilah jejak kehancuran perempuan yang paling nyata, yang diwariskan oleh sebuah tirani kolonialisme Belanda.
Eh Sya, kamu tahu nggak? Belanda, luasnya tidak lebih besar Sukabumi di Jawa Barat, tempat dimana saat ini kunjunganku kedua setelah mendapatkan bea-siswa short course ekologi politik dengan uang saku yang sangat lumayan, belanja seminggu dua kali di open market atau albert heijn jika open market sudah tidak cukup waktu untuk dikejar, paling tidak untuk memenuhi selera makan ala Indonesia. Aneh, mungkin begitu bisikku dalam hati. Aku menghujat dan sekaligus menikmati negara ini dengan semua latar belakang yang bisa dijadikan sebagai basis argumentasi, bahwa program ini sama dengan bentuk politik balas budi Belanda terhadap Indonesia.
Ah, tapi aku mencoba untuk mengambil sisi lain, juga dari sejarah yang sempat aku baca. Pengalaman para pendiri republik ini, merumuskan sebuah konsep kebangsaan, juga dilakukan di tempat ini. Sebut saja Tan Malaka yang merumuskan gagasan Menuju Republik Indonesia, Soekarno yang menuliskan dengan sangat baik Menuju Indonesia Merdeka, Hatta yang menuliskan Indonesia Merdeka. Hmmm, tapi kok tidak ada perempuan ya??? Gugatku seketika. Oooh, mungkin sejarah lupa untuk menuliskan bagaimana perempuan menuliskan konsep kebangsaannya melalui struktur penindasan yang menjadi cerita keseharian para Nyai-Nyai.
Lalu aku, ada disini untuk apa? Aku juga tidak terlalu mengerti, setauku hanya karena aku mendapatkan keberuntungan bisa belajar di tempat beberapa tokoh penting pergerakan Indonesia merumuskan pikirann-pikirannya tentang Indonesia yang berdaulat disini, di negeri Belanda. Tapi ucapku, paling tidak aku pernah punya cita-cita, mimpi atau entah apapun lah namanya yang disebut oleh para pemimpi perubahan, untuk mencorat-coret ulang definisi sebuah nilai kebangsaan yang kini sudah dikooptasi oleh pasar bebas, oleh atas nama demokrasi, oleh segelintir kelompok yang secara kebetulan menjadi mayoritas dalam parlemen. Seperti anak kecil yang suka menggambar, aku hanya ingin membuat paling tidak titik-titik yang bisa ditarik menjadi sebuah garis, potret dunia baru bagi Indonesia. Mungkin, nggak mungkin, mungkin, nggak mungkin, tiba-tiba Tika Panggabean nyeletuk begitu saja disamping kupingku lewat lagunya yang menemaniku minum kopi sebelum masuk kelas, tapi konon another world is posibble, paling tidak itu pesan kuat dari sebuah kumpulan teman yang menamakan dirinya Indoprogress.
Sya.... kurang lebih 10 menit dari tempat tinggalku, jalan kaki menuju Institute of Social Studies. Sangat dekat, apalagi berjalan kaki disini begitu nyaman, tidak seperti Jakarta yang rasanya pejalan kaki itu menjadi kelas yang paling termarginal. Dalam pembangunan jalanpun, kita bisa melihat relasi kelas, kelas mana yang berkuasa atas jalan raya di Jakarta. Jawabannya mudah bukan, pemilik mobil pribadi, dan pejalan kaki menempati bagian yang sudah semakin tergeser.
Ini kelas pertamaku di kampus yang katanya kiri, meskipun temanku yang tinggal di London sempat mengenyitkan dahinya, menurutnya kampus ini tidak lagi menjadi kampus kiri. Enggak pa-palah, agak-agak berbau kiri juga nggak mengapa. Hujan rintik-rintik menjadi inspirasi baru akan lahirnya mimpi sebuah perubahan. Paling tidak mencoba untuk melihat sisi nasionalisme dari dunia yang berbeda, Utara – Selatan. Entah, apa aku memaknainya dengan bacaan ini. Tapi paling tidak, cuaca dingin ditambah rintik-rintik hujan yang turun, menjadi sebuah isyarat nyata bahwa dunia ini bisa dilihat dalam dua sisi yang berbeda. Di negeri kolonial, justru para pemuda merumuskan konsep kebangsaan Indonesia yang didasari atas satu keinginan, persatuan dan kemerdekaan.
Aku memasukkan coin untuk mendapatkan secangkir kopi, lumayan pikirku untuk menghangatkan badan setelah seharian dari pagi hingga petang menghabiskan waktu di kelas, keliling kampus mulai dari perpustakaan hingga mampir dalam sebuah kelas diskusi Marxist, kebetulan kawanku yang baru kukenal satu hari itu. Aku menikmati kopi di pelataran kampus, kebetulan ada kursi didepan kanal yang mengalir disitu, sambil sesekali menebar senyum pada sekawanan turis yang berwisata sungai dengan japal-kapal kecil, sesekali khayalanku melayang pada sebuah mimpi sungai di Jakarta tak kalah menariknya dari kanal yang didepanku ini, apalagi dalam sejarahnya kali Ciliwung pernah menjadi cerita yang sangat terkenal di Belanda.
Posted by khalisah khalid at 1:07 PM 0 comments
Potret dan Fakta Krisis Perempuan Nelayan
Perempuan nelayan, identitas dirinya dihilangkan dan dianggap tidak ada karena nelayan selalu diidentikkan dengan laki-laki yang mencari hasil-hasil kekayaan di laut lepas. Marginalisasi terhadap perempuan nelayan, bahkan dimulai sejak identitas dirinya dan pengalaman hidupnya dalam mengelola sumber-sumber kehidupan diabaikan. Pengelolaan sumber-sumber kehidupan di pesisir dan laut, bahkan telah menjauhkan pengalaman perempuan nelayan sebagai sebuah pengetahuan. Perempuan nelayan bisa berdaulat, jika sudah ada perubahan relasi sosial dan relasi gender yang adil. Penelitian yang dilakukan oleh Bibik Nurudduja terkait perjuangan perempuan nelayan Morodemak Jawa Tengah, menyajikan semua cerita potret dan fakta krisis yang dialami perempuan nelayan, dan bagaimana perjuangan perempuan nelayan sebagai bagian dari daya survivenya bagi masyarakat nelayan di kampungnya, dan bagaimana relasi perempuan nelayan diluar dirinya baik terhadap sesama perempuan maupun komunitasnya. baca selengkapnya hasil penelitiannya di www.kiara.or.id
Baca selengkapnya...Posted by khalisah khalid at 11:07 PM 2 comments
Menakar Kedaulatan Pangan Indonesia
Menakar Kedaulatan Pangan Indonesia
oleh : Khalisah Khalid
Kedaulatan Indonesia berawal dari kedaulatan pangan. Harapan ini tampaknya sangat masuk akal disampaikan oleh sebuah negara agraris dalam peringatan Hari Pangan, yang jatuh pada 16 Oktober setiap tahun. Namun, menjadi jauh panggang dari api karena dengan sengaja pengurus negara menggunakan pilihan politiknya untuk terus-menerus menciptakan krisis di negeri ini, yang produksi pangannya bergantung pada industri pertanian trans-nasional dan multi-nasional, dan menempatkan pangan sebagai komoditas untuk mengumpulkan akumulasi modal. Padahal, sejatinya, pangan adalah hak dasar rakyat yang penguasaan dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara, untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Krisis pangan memang tak hanya melanda Indonesia, tapi juga negara miskin dan berkembang lainnya yang bersandar pada kekuatan ekonomi pasar bebas, yang dimainkan oleh World Trade Organization (WTO), yang mengendalikan pasar dan memaksa Indonesia tunduk dan patuh pada agenda liberalisasi di sektor pertanian. Krisis pangan global memperlihatkan begitu lemah dan tidak berdayanya negara melindungi kebutuhan dasar rakyatnya.
Kondisi krisis keuangan dan ekonomi global yang terjadi saat ini diprediksi juga akan membuat Indonesia menempuh kekeliruan politik yang sama. Paling tidak, ini terungkap dalam diskusi "Krisis Keuangan Amerika Serikat dan Dampaknya terhadap Indonesia" (Jumat, 11 Oktober 2008) oleh gerakan civil society di Jakarta bahwa pemerintah akan menggelontorkan dana sekitar Rp 130 triliun yang diperuntukkan bagi perbankan dan sektor keuangan, sementara 67 persen uang yang beredar di Indonesia ada di pasar asing. Itu artinya, ketika krisis ekonomi global terjadi, yang diselamatkan pertama oleh pengurus negara adalah modal, dan lagi-lagi yang diuntungkan dalam krisis ini adalah pasar. Pemerintah tidak memprioritaskan anggaran Rp 130 triliun tersebut untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti petani, nelayan, buruh, dan kaum miskin kota, yang selalu menjadi korban pertama dalam setiap cerita krisis global yang terjadi dan berpengaruh dalam kehidupannya sehari-hari.
Sepuluh langkah (baca: perintah) yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk merespons krisis keuangan global, di mana salah satunya berisi seruan untuk menggunakan produk dalam negeri, semakin memperlihatkan dangkalnya pemahaman SBY terhadap krisis yang dialami oleh rakyat, khususnya petani sebagai penyedia pangan negeri ini. SBY mungkin lupa bahwa sumber pangan kita diimpor dari luar. Masih ingatkah ketika tempe hilang dari peredaran akibat ketergantungan Indonesia pada kedelai, yang 60 persen dari Amerika Serikat dan 85 persennya berasal dari transgenik. Akibatnya, ketika Amerika Serikat memprioritaskan pertaniannya untuk pemenuhan bahan bakar biofuel, yang terjadi adalah kerentanan di Indonesia. Sebuah konsekuensi logis atas ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor.
Dalam lembar fakta yang dikeluarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dinyatakan bahwa krisis finansial dan ekonomi global, serta situasi ekonomi, semakin buruk dan memojokkan mereka, sehingga mereka terdorong melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pertanian berkelanjutan. Salah satu gambarannya adalah dengan memaksakan produktivitas tinggi menggunakan pupuk kimia dan pestisida, yang kemudian menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lahan, lalu mereka semakin terdorong untuk menjual lahannya. Perbandingan nilai tukar lahan antara sebagai pertanian dan sektor lain sungguh tidak seimbang, sehingga tidak ada penahan untuk setia pada pertanian.
Revolusi hijau
Rezim SBY-JK bukan tidak mengetahui bahwa Indonesia berada dalam cengkeraman krisis pangan. Paling tidak, kondisi ini tergambar dalam pernyataan Presiden SBY dalam forum pertemuan G-8 di Hokkaido, Jepang. Revolusi Hijau Jilid Kedua adalah agenda yang ditawarkan kepada negara-negara maju tersebut, karena Revolusi Hijau Jilid pertama, yang digulirkan pada 1960, dinilai berjalan dengan sukses. Revolusi Hijau Jilid Kedua diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pangan Indonesia, jika dilakukan dengan investasi yang masif dan kerja sama yang aktif dalam tingkatan global.
Pernyataan yang disampaikan dalam pidato Presiden ini menjelaskan kepada kita bahwa agenda alternatif yang diusulkan oleh pemerintah tersebut ahistoris, dan menandakan SBY-JK tidak paham dengan krisis pangan yang dialami Indonesia. Agenda alternatif ini sekaligus menandakan bahwa Indonesia akan semakin memperlebar pintu liberalisasi pertanian dan industrialisasi pangan yang akan dikendalikan oleh pasar internasional.
SBY tidak mengerti bahwa krisis pangan global dan khususnya di Indonesia disebabkan oleh kebijakan ekonomi global melalui mekanisme perdagangan internasional, dan kebijakan penguasaan lahan yang diprioritaskan bagi kepentingan modal, dengan mengkonversi lahan-lahan pertanian untuk membuka perkebunan sawit skala besar. Di Sumatera dan Kalimantan, perluasan perkebunan sawit mencapai 3 juta hektare untuk pengembangan agrofuel. Serta menyulap lahan pertanian untuk ekstraksi industri tambang yang memiliki daya rusak yang tinggi. Padahal Departemen Pertanian menyebutkan, kebutuhan terhadap beras Indonesia mencapai 40,182 juta ton pada 2018.
Undang-undang sektoral, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, menjadi alat legitimasi yang paling ampuh bagi pemilik untuk mengambil tanah rakyat. Bagi petani, tanah merupakan aset terpenting bagi kegiatan pertaniannya. Sayangnya, pemerintah lalai dalam hal ini. Kepemilikan tanah sebagai pilar terpenting kegiatan produksi semakin lama kian tidak ramah dengan kebutuhan sektor pertanian. Rata-rata lahan kepemilikan rumah tangga petani semakin menciut, bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan itu hanya 0,25 hektare. Penciutan kepemilikan lahan itu bisa bersumber dari pola warisan yang membuat lahan terfragmentasi, infiltrasi sektor industri atau jasa yang lapar lahan, dan kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian.
Langkah politik
Sekali lagi, kebijakan politik pengurus negara sangat menentukan apakah Indonesia akan keluar dari krisis pangan ini dan membawa negeri ini pada kedaulatan yang hakiki. Pemerintah seharusnya berani mengeluarkan sikap politik dan langkah-langkah politik yang penting dan mendesak. Krisis ekonomi dan keuangan saat ini bisa dijadikan sebagai momentum politik untuk mengeluarkan kebijakan yang strategis di bidang pangan dan pertanian. Reformasi agraria merupakan salah satu jalan menuju kedaulatan pangan, dengan meletakkan tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi, dan tata konsumsi kepada pemangku kepentingan terbesar, yakni rakyat Indonesia.
sumber: Koran Tempo
Baca selengkapnya...
Posted by khalisah khalid at 9:28 PM 0 comments
Sya .... (I)
Sya ….
Aku sedang berada didalam kereta menuju kota Den Haag, detik-detik kecepatannya semakin membawaku jauh diambang batas khayalan yang selalu menjadi teman dimasa remajaku. Dulu aku selalu marajuk, mengapa ibu belum juga membelikanku bra dengan renda yang lucu-lucu, padahal hampir semua temanku sudah memakai bra dengan beraneka warna. Aku juga selalu bertanya kepada ibu, mengapa aku belum juga mendapatkan datang bulan sebagai tanda kalau aku sudah beranjak remaja, dan boleh mulai pacaran tentu saja.
Ah,…. Hampir saja ibu menjawab. Tapi rem kereta segera mengembalikan waktuku tepat disini. Kala dingin mulai menyingkap perlahan-lahan, merayapi seluruh badanku hingga ke sum-sumnya. “Seperti di Lembang”, begitu bisikku pada teman lelaki yang menjemputku. Dia hanya tersenyum melihat kepolosanku yang baru menapak di bumi Eropa.
“Eropa euy”….. setengah mati girangnya aku begitu keluar dari stasiun Holland Spoor, sama persis begitu girangnya ketika aku pertama kali aku mendapati rok sekolahku ternoda darah. “Yes, ibu………..” setengah berteriak aku berlari menghampiri ibuku. “aku menstruasi, aku sudah besar dan artinya sudah boleh pacarankan?” bisikku setengah memohon. Apalagi aku ingat cerita ibu, yang dinikahi ayahku diwaktu umurnya belum lagi genap 15 tahun.
Akhirnya aku memiliki cerita yang sama dengan teman-teman sebayaku, meskipun aku mendapatinya diumur 17 tahun. Terlambat ya, ah… tapi enggak pa-palah. Kata ibu, biar terlambat, yang penting aku sudah merasakan menjadi perempuan setengah sempurna. Kenapa cuma setengah? Protesku kepada ibu. “Ya…. Setengah, karena setengah lagi bisa kamu dapatkan jika kamu sudah menikah dan melahirkan”.
“Susah banget jadi perempuan ya”? “Apa teman lelakiku juga begitu?” Pasti enggaklah ya, mereka tidak akan pernah menjadi laki-laki yang sempurna, karena mereka tidak akan bisa melahirkan bukan?? Bisikku dalam hati dengan senangnya.
Sya .....
Dingin semakin kuat memenjaraku aku dalam jaket tebal ini, padahal salju belum lagi turun di awal September ini. Teh hangat secepat kilat kuteguk habis dalam sekejap, seperti jamu yang secara rutin harus aku minum setiap hari, untuk menghilangkan rasa sakit yang teramat sangat dikala jadwal menstruasiku tiba. Rasa gembira tiba-tiba berubah menjadi rasa benci dan sekarang aku malah membenci diriku sebagai perempuan, dan setiap kali menstruasi, aku selalu merengek pada ibu untuk mengganti vaginaku dengan penis. Belum lagi rasa mual yang hampir terlalu sering menguras isi perutku, hingga rasanya makanan menjadi duri sembilu yang menyayat-nyayat lambung dan ulu hatiku.
Ibu pasti begitu repot, sama repotnya dengan teman-temanku yang sempat berpikir bahwa tuntutan cuti haidh itu tuntutan kegenitan dari aktifis perempuan, karena selama ini kawan-kawanku tidak pernah punya pengalaman melihat istri atau teman perempuannya mengalami penderitaan seperti ini, beberapa kali pingsan saking tidak kuatnya menahan rasa sakit. Dokter bilang ada kelainan pada saluran vaginaku, dan terakhir dokter bilang ada kista di rahimku.
Syit, sungguh Sya.... aku nggak peduli meskipun dokter bilang aku sulit punya anak. Aku cuma mau rasa sakit itu pergi jauh-jauh, karena itulah aku rela harus meminum obat yang rasanya seperti empedu saja.
Posted by khalisah khalid at 10:02 PM 0 comments
Lebaran tak Semanis Brownis
Lebaran tak Semanis Brownis
Khalisah Khalid
Tiga tahun belakangan ini, setiap menjelang hari raya, meskipun tidak banyak ibuku selalu menerima pesanan brownis kukus. Jenis kue yang satu ini memang sangat enak, kaya dengan coklat dan begitu lembut dimakan. Kebanyakan orang suka dengan kue ini, apalagi ditambah dengan secangkir teh hangat. Kemanisan rasanya, bahkan mampu melupakan sejenak kerumitan pekerjaan.
Lebaran kali ini, pesanan kue juga sudah mulai datang. Tentulah orang ingin kembali menikmati kemanisan rasanya, dan harusnya ibuku juga senang karena itu sama artinya dengan pendapatan penghasilan yang akan dia dapatkan. Namun diluar dugaan, ibuku tidak merespon dengan cepat pesanan kue dari teman-temanku. Cerita punya cerita, ternyata dia bingung dengan harga jualnya. "Berapa ya mau dijualnya? takutnya kemahalan dan membuat orang jadi takut untuk membeli".
"Harga minyak tanahnya itu loh yang mahal banget, satu liter harganya mencapai sebelas ribu sampai dua belas ribu rupiah". Masih bagus kalau dapat, karena sudah mahal langka lagi di pasaran". Begitu ucapnya, untuk menjawab keherananku karena sikapnya yang tidak antusias menerima pesanan. Kupikir ibuku bisa masak kue, dengan menggunakan kompor gas. Ternyata, kompor gas juga tidak selalu bisa digunakan untuk memasak kue, karena matangnya tidak rata jika menggunakan kompor gas. "Hmmm, sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan. Begitu gumamku dalam hati.
Bukan ibuku saja yang merasakan itu, karena baru dua hari yang lalu saya ngobrol dengan seorang ibu nelayan sambil berbuka puasa di Cilincing Jakarta Utara sana. Sudah satu bulan ini suaminya tidak melaut, karena tidak ada ikan. Modal yang dikeluarkan begitu besar, hampir seratus ribu sekali jalan, dan yang terbesar adalah biaya untuk membeli minyak. Sementara hasil yang didapatkan hanya mencapai Rp. 20.000, padahal sistem pembayaran minyaknya biasanya dibayarkan setelah suaminya mendapatkan hasil melaut. Kini, untuk bertahan hidup, dia harus menjadi pengupas kijing (kerang) dengan harga Rp. 1.250 perkilonya. Maksimal dia bisa membersihkan 10 kilo satu hari, itupun sudah seluruh keluarganya ikut dibawanya membantu bekerja. Ramadhan depan, mungkin sudah waktunya aktifis-aktifis berbuka puasa yang biasanya di kantor mereka, di ruang-ruang mewah, memindahkan tempatnya ke kampung-kampung gelap, lorong-lorong kumuh.
Ibuku mungkin tidak terlalu sulit, karena usahanya menjual brownis bukan sebagai penghasilan utama keluarga. Tapi bagaimana dengan perempuan-perempuan lain, yang usahanya yang mengandalkan minyak tanah, merupakan sumber penghidupan keluarganya? Kesulitan hidup ibu-ibu ini dirasakan, setiap kali pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga BBM. Bagaimana dengan nasib ibu nelayan itu, bagaimana dia harus makan dan memenuhi kebutuhan dasar keluarganya?
Ah, susahnya kupikir jadi ibu rumah tangga yang sedang berusaha membantu ekonomi keluarganya. Dari beberapa pengalaman ini, aku menangkap apa yang menjadi problem utama kebijakan negara. Mereka mengabaikan kelompok perempuan yang selama ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar, baik untuk keperluan makan keluarga sehari-hari, maupun untuk membangun produktifitasnya dengan berbagai unit usaha yang dilakukan.
Setiap kenaikan harga BBM yang selalu diikuti dengan kelangkaan minyak tanah, belum lagi ditambah dengan konversi minyak tanah ke gas. Apakah pengurus negara ini tahu, bahwa fungsi minyak tanah untuk memasak kue yang bagus untuk dijual, tidak bisa digantikan oleh gas. Dan apakah pemerintah juga tahu, bahwa nelayan tidak mungkin membawa tabung gas untuk menyalakan lampu petromak mereka. Ah..... tapi bagaimana pemerintah tahu, lah wong mereka tidak pernah punya pengalaman menjadi nelayan, apalagi merasakan membuat brownis kukus yang harus dimasak di kompor minyak. Beginilah jadinya, kalau kebijakan negara mengabaikan kelompok masyarakat yang hidupnya bergantung dari minyak tanah.
Ibuku pernah bertanya, apakah Indonesia memang tidak lagi punya persediaan minyak?, sampai harus diganti ke gas dan harga minyak menjadi sangat mahal. Sebuah pertanyaan kritis bagiku, untuk bisa menjelaskan bahwa Indonesia begitu memiliki kekayaan yang berlimpah, sayangnya kekayaannya bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, melainkan menjadi komoditas dan dijual untuk memenuhi konsumsi negara-negara maju, karena hampir 85 persen minyak dan gas kita dikuasi oleh asing.
Lebaran, harusnya semua ummat bersuka cita, karena kelezatan dan kemanisannya seperti brownis kukus yang dibuat ibuku. Sayangnya, kemanisan hari raya sudah ikut diambil oleh penguasa yang memiliki kekuatan secara politik dan ekonomi untuk menguasai kekayaan alam di bumi ini.
Posted by khalisah khalid at 11:54 AM 0 comments
Tuhan, sang Pembawa Makanan
Tuhan, sang Pembawa Makanan
Khalisah khalid
Mataku tertegun pada sebuah berita TV, ketika sebuah keluarga memakan dari hasil mengais-ngais sisa makanan orang lain, dan sebagian yang lainnya menjual makanan itu sambil berharap ada sedikit rejeki yang bisa didapatkan untuk memperpanjang nafas hidup keluarganya.
Ah….. rasanya diluar akal sehatku, begitukah cara orang-orang miskin mempertahankan hidupnya dan mencoba keluar dari sebuah kungkungan ekonomi, sambil sesekali dihibur dengan siraman rohani para rohaniawan yang berada dibelakang jubah-jubah sucinya untuk mengatakan, "jikapun didunia ini kita miskin, maka bersabar dan berbuat baiklah, karena setelah kematian, akan ada balasan kesabaran dari orang miskin berupa syurga". Tapi apakah syurga itu ada??? Itulah pertanyaan nakal yang selalu aku gugat kepada orang tuaku yang selalu membenamkan ayat-ayat suci kepada anak-anaknya, apalagi bagi orang miskin yang memilih bunuh diri karena tidak sanggup lagi menghadapi derita kemiskinan?, karena kata ayahku orang yang bunuh diri tidak akan masuk syurga. "Ah, kasihannya orang miskin itu, didunia mereka tidak diterima, setelah matipun dilempar ke neraka".
Meskipun masih sulit percaya, aku masih ingat dengan apa yang tertera dalam tafsir-tafsir al-kitab, bahwa begitu pemurahnya Tuhan telah memberikan makanan, minuman dan semua kekayaan yang ada dibumi untuk manusia. Bahkan, cacingpun diberi makanan didalam tanah agar mereka bisa bertahan hidup. Karena itu, menjadi kewajiban bagi ummat manusia untuk bersyukur. Gugatanku kemudian adalah, bagaimana bisa mencari makanan dari dalam bumi, sedang sejengkal tanahpun sudah dikavling oleh modal, dengan menyingkirkan mereka yang tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik.
Tapi dimana adanya Tuhan, yang menugaskan malaikat-Nya yang bernama Mikail untuk memberikan rejekinya kepada semua makhluk hidup. Atau jangan-jangan malaikanpun sudah dikuasai oleh kekuatan modal, dengan hanya memberikan semua limpahan kekayaan alam hanya bagi segelintir kelompok mereka. Sangat mungkinkan jika malaikat pemberi rejeki itu dikuasai oleh modal, buktinya para pemimpin agama itu telah menjadi alat bagi modal untuk mengakumulasi keuntungannya. Itulah kenapa kemudian Mikail enggan mendatangi orang-orang miskin, dan membagikan kemurahan rejeki yang dijanjikan Tuhan,meskipun orang-orang miskin sudah berpeluh keringat bekerja menjadi kuli, buruh murah, menyemir sepatu, bertani sayuran, menjadi PSK atau buruh migran di luar negeri sana.
"Tuhan, aku memimpikan Kau datang membawakan makanan kepada orangorang miskin yang tinggal di kolong jembatan, di permukiman kumuh yang mengganjal perutnya dari hasil mengais sisa makanan". Memberikan sedikit saja makanan yang ada dari keseluruhan bagian perut bumi, untuk mereka yang miskin. Sedikit saja, paling tidak membuat hambamu tidak cemas akan kelaparan.
Posted by khalisah khalid at 1:20 AM 2 comments
Dibalik Pertarungan Sumber Daya Alam
"Dibalik Pertarungan Sumberdaya Alam Indonesia"
Bogor, 18 September 2008
Latar Belakang
Krisis multidimensi yang sedang dialami oleh Indonesia harus segera di
akhiri, agar Indonesia bisa meraih kedaulatan atas apa yang
dimilikinya. Hak pengelolaan atas sumberdaya alam harus berada di
tangan rakyat, dan sudah seharusnya pemerintah sebagai pelaksana
mandat rakyat hanya berfungsi sebagai pengatur terpenuhinya hak-hak
rakyat tanpa intervensi asing dan bebas dari kepentingan neoliberal.
Berbagai persoalan terkait kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup,
bencana ekologis, krisis pangan, krisis air bersih, kebodohan dan
pencabutan subsidi pokok bagi rakyat adalah sebagai akibat dari
akumulasi ekstraksi sumberdaya alam yang tidak berkeadilan dan tidak
berpihak kepada kepentingan rakyat yang ditopang oleh kebijakan
pemerintah yang korup dan paradigma pertumbuhan ekonomi yang hanya
mengandalkan sektor tertentu seperti sektor pertambangan, perkebunan
dan kehutanan.
Pengelolaan Taman Nasional maupun kawasan konservasi lain, pembangunan
bendungan besar, pembangunan perkebunan besar kelapa sawit, industri
pertambangan, pertambakan besar dan permasalahan lingkungan hidup di
perkotaan telah melahirkan berbagai konflik. Konflik tersebut
merupakan ruang pertarungan kepentingan antara pemerintah dan kaum
modal dengan komunitas lokal/adat.
Persoalan diatas memang harus dipahami secara utuh, sehingga berbagai
solusi dapat dimunculkan tanpa harus mengorbankan kepentingan yang
lain. Untuk itu diperlukan sebuah cara pandang dan pisau analisis yang
mampu memahami politik ekonomi dalam konteks pengrusakan lingkungan
hidup, sehingga bisa membuka tabir bagaimana sebenarnya hubungan
pengrusakan lingkungan hidup berkaitan dengan persoalan populasi dan
pembangunan di negara-negara maju/kepentingan global.
Para periset WALHI telah melakukan kajian singkat terhadap berbagai
problematika lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Hasil kajian
tersebut menjadi penting untuk dibedah bersama agar lebih tajam dan
memberikan makna bagi perubahan di Indonesia. Untuk itu, WALHI bersama
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor menyelenggarakan
Seminar Publik "Dibalik Pertarungan Sumberdaya Alam Indonesia"
Bentuk Kegiatan
Kegiatan ini berbentuk seminar yang terbuka bagi umum dengan lima (5)
orang pembicara dari periset WALHI, 2 (dua) orang pembahas dan 2 (dua)
orang Key note Speaker.
Tujuan Kegiatan
Seminar ini bertujuan untuk :
1. Memaparkan dan membahas hasil-hasil penelitian tentang ekstraksi
sumberdaya alam, perubahan ekologi dan kepentingan ekonomi politik;
dengan menggunakan pendekatan ekologi politik.
2. Memperoleh masukan dari kalangan akademisi dan masyarakat untuk
memperkuat basis argumentasi hasil penelitian.
Hasil yang diharapkan
1. Mempertajam daya analisis periset WALHI dalam melakukan kajian
dengan pendekatan ekologi politik.
2. Terbangunnya komunikasi dan jejaring antar peneliti dan peminat
ekologi politik.
Waktu dan Tempat Kegiatan
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada :
• Hari & Tanggal: Kamis, 18 September 2008
• Pukul : 13.00 – 18.00 WIB
• Tempat : Ruang Mahoni
Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB
Jl. Raya Pajajaran Bogor
Peserta Kegiatan
• Seminar ini tidak dipungut biaya dan terbuka untuk kalangan
akademisi, pemerintah, anggota legislatif, LSM, mahasiswa S1, S2 dan
S3, Periset WALHI serta kalangan jurnalis.
• Peserta dibatasi sebanyak 100 orang dan diutamakan yang mendaftar
lebih dahulu.
• Pendaftaran dilakukan melalui:
Kelompok Diskusi Ekologi, Kebudayaan dan Pembangunan (Ekbudbang),
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA IPB
1. Rina Mardiana, SP. MSi
HP: 081555779667; email: rina_nrf@yahoo.com;
2. Anton Supriyadi, SP. MSi
HP: 081310053054; email: supriyadi_anton@yahoo.co.id
3. Mariamah Achmad
Eksekutif Nasional WALHI
HP: 081345407525; email: mayi@walhi.or.id
Posted by khalisah khalid at 9:23 AM 0 comments
Impian Kemakmuran Beralas Darah
Impian Kemakmuran Beralas Darah
Oleh : Khalisah Khalid
Jawa, dalam sejarah keberadaannya hingga kini selalu menjadi sebuah potret yang menarik untuk dilihat sebagai sebuah alur cerita krisis yang mengatasnamakan pembangunan. Penguasaan terhadap kelas menjadi sebuah cerita sejak jaman kerajaan, kolonialisasi, hingga saat ini. Setiap kelas yang berkuasa pada jamannya, menancapkan kekuasaannya untuk melanggengkan sebuah imperium bagi keberlanjutan eksistensinya sebagai pemilik kuasa.
Pemimpin manusia di pulau Jawa, didalam sistem kekuasaannya (power sistem) telah menempatkan diri sebagai sebuah elit yang mengatasnamakan kelas yang dikuasainya. Dalam hal ini rakyat yang selalu ditempatkan menjadi objek dalam seluruh cerita pembangunan, untuk mewujudkan mimpi kemakmuran dan kesejahteraan untuk kelompoknya.
Daendels, menjadi sosok pertama dari jaman kolonialisasi Belanda yang meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi di Pulau Jawa dan yang selanjutnya melahirkan banyak lagi daendels-daendels lain yang menerapkan dasar yang sama. Praktek industrialisasi yang disokong infrastruktur raksasa inilah yang kemudian menjadi landasan atau pijakan model pembangunan, yang berujung pada tata kuasa, tata penggunaan lahan, tata produksi dan tata konsumsi yang menguntungkan segelintir kuasa politik dan modal.
Pada saat itu, Daendels memimpikan dapat menguasai perdagangan dan jalur ekonomi, yang dapat dicapai dengan membangun infrastruktur ekonomi diantaranya jalan raya yang menjadi poros dari jalur perdagangan di Pulau Jawa dengan mempekerjakan secara paksa sekitar 12.000 orang. Jawa dipilih oleh kolonial Belanda untuk menancapkan kekuasaan ekonomi dan politiknya, karena pulau Jawa`dinilai sangat strategis, kaya dengan sumber daya alamnya dan memiliki banyak sumber daya manusia yang sangat murah, yang dapat dipekerjakan secara paksa, antara lain di perkebunan teh dan kopi yang dikuasai oleh Perusahaan Belanda. Yang lainnya adalah karena pemimpin politik di Jawa dapat dijadikan sebagai penghubung atau mitra Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya. Kenyataan inilah yang alur kolonialisasi secara ekonomi, sejalan beriringan dengan kolonialisasi secara politik.
Meskipun hanya tiga tahun berkuasa, prinsip-prinsip penguasaan yang dilakukan oleh Daendels, diamini secara baik oleh generasi penerus daendels pada masa kolonial. Pembangunan imperium dirancang untuk mengamankan jalur ekonomi Belanda pada masa itu. Kesejahteraan bagi Indonesia sebagaimana yang dijanjikan oleh pemerintahan kolonial Belanda, hanya berada diatas kertas.
Sistem Tanam paksa di Jawa juga menjadi salah satu kebijakan yang dilakukan oleh kolonial Belanda mulai tahun 1830 yang diperkenalkan oleh van den Bosch, yang bertujuan untuk mendapatkan produksi komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar dunia. Sistem tanam paksa kala itu merupakan alat penghisapan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda, yang telah menciptakan kesengsaraan dan kemiskinan bagi petani di Jawa. Betul memang tanam paksa telah mendorong pertumbuhan di bidang ekspor pertanian dan terlibat dalam proses perdagangan internasional, tetapi dari seluruh cerita ini, yang memetik keuntungan dan kepentingan atas perdagangan internasional adalah kongsi dagang Belanda, bukan petani yang mengerjakan tanam paksa di Jawa.
Paska pembangunan jalan Anyer-Panarukan, di jaman Orde Baru, entitas politik di Pulau Jawa mengikuti dan memperkokoh praktek pembangunan infrastruktur industri. Pembangunan dan janji pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah mitos yang terus menerus disuarakan oleh pengurus negara dan pemodal yang menguasai tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi dan tata konsumsi manusia di Pulau Jawa. Sayangnya, semua kebijakan pembangunan yang dilakukan kemudian, tidak pernah menghitung nilai-nilai lain yang dapat memastikan rakyat di pulau Jawa`dapat terus berlanjut antara lain jaminan atas keselamatan, kesejahteraan, produktifitas dan keberlanjutan pelayanan alam.
Dimasa orde baru, bagaimana pembangunan infrastruktur industri manufuktur dan modern, menjadi mesin utama dari cerita pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dan telah menggantikan ekonomi pertanian di pedesaan dan merubah tatanan sosial dan budaya dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri.
Dalam konteks kekinian, pembangunan jalan menjadi prioritas utama Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sampai Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Seluruh cerita pembangunan infrastruktur jalan di Jakarta ditujukan menyediakan sarana dan fasilitas dengan mendukung investasi yang menanamkan modalnya di Jakarta. Antara lain dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, pembebasan lahan dengan biaya yang murah, bahkan seringkali menimbulkan persoalan panjang dikemudian hari dengan menggusur masyarakat, yang dipercaya sebagai mesin utama penggerak ekonomi. Dalam penataan ruang, sistem transportasi bertujuan untuk melakukan efesiensi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur di Ibukota dilakukan dengan begitu pesatnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Ini dibuktikan dengan membangun ruas jalan, jembatan layang, jalan tol agar dapat memudahkan distribusi industri dan modal bekerja. Selain itu, tanah juga menjadi salah satu alat produksi investasi yang disiapkan dengan memberikan jaminan atas pembebasan tanah-tanah masyarakat untuk membangun kepentingan pembangunan infrastuktur, tentu saja atas nama pembangunan dan menjual jargon kesejahteraan rakyat.
Yang mesti dilihat secara kritis, bahwa cerita pembangunan dengan janji kesejahteraan dan kemakmuran melahirkan cerita lain yakni sebuah krisis yang terus menerus harus dialami oleh rakyat. Jalan Anyer-Panarukan yang menjadi jalan utama bagi industri kolonial Belanda, dibangun diatas landasan air mata, darah dan mayat dari ribuan orang pekerja paksa. Penyakit, kelaparan dan kemiskinan bercampur menjadi sebuah siklus hidup yang harus dialami oleh rakyat yang tidak memiliki kekuatan untuk kekuatan untuk melawan kebijakan kolonial, karena daendels turut mengajak penguasa di Jawa, untuk masuk dalam gerbong koloni untuk membangun kerajaan ekonomi.
Bagi pengurus negara, pengorbanan adalah sebuah kewajaran didalam cerita pembangunan. Cerita orang yang mati pada masa kerja paksa pembangunan jalan Anyer-Panarukan, cerita 37 desa di 3 kabupaten dan 7 kecamatan desa yang tenggelam dan sekitar 23.380 jiwa kehilangan ruang hidupnya untuk pembangunan Kedung Ombo, dinilai oleh pengurus negara sebagai sebuah bentuk pengorbanan dari rakyat kepada negara, dengan atas nama pembangunan. Proyek infrastruktur dengan resiko tinggi dengan tingkat manfaat sangat rendah. Terakhir, Kedung Ombo menjadi sebuah potret kepatuhan pengurus Negara kepada agenda perluasan infrastruktur oleh institusi keuangan internasional untuk kepentingan investasi.
Cerita Lapindo hari ini, menjadi cerita yang paling kontekstual. Bagaimana industri telah menjadi sebuah malaikat baru yang siap untuk mencabut nyawa rakyat kapanpun dia mau, karena sampai hari ini industri di sektor tambang dan migas menjadi industri yang paling tertutup. Bahkan, rakyat tidak pernah bahwa mereka hidup tanpa adanya jaminan keselamatan, produktifitas, kesejahteraan dan keberlanjutan pelayanan alam. Kasus Lapindo menjadi sebuah potret yang utuh bahwa industri telah mampu dalam sekejap mata menghancurkan bangunan hidup yang telah dirintis dengan susah payah oleh rakyat di Sidoarjo. Saat ini, 24.000 orang harus kehilangan ruang hidupnya, ditenggelamnya oleh sebuah cerita pembangunan yang bernama industri migas.
Bahkan bagi rakyat di Jawa Timur, sama sekali tidak memiliki jaminan apakah nasibnya tidak akan lebih buruk dari cerita sedih yang dialami oleh rakyat di Sidoarjo akibat busuknya politik industrialisasi yang dipraktekkan oleh kuasa modal dan pengurus negara, karena tidak kurang dari 32 blok migas yang ada di Jawa Timur yang memiliki tingkat huni yang padat.
Dalam cerita Lapindo, industri migas menjadi sebuah industri yang memiliki kekuatan ekonomi politik. Dari sejarah dimulainya industri sektor ini, terutama pertambangan minyak, di Indonesia menjelang abad 19. Industri minyak bahkan menjadi urusan kunci dalam dinamika proses diplomasi di awal Kemerdekaan. Nilai strategis ini menjadikan industri minyak sektor yang sakral, yang hingga perlu ditangani dengan keterlibatan militer.
Di perkotaan, hegemoni industri bahkan sudah memasuki sum-sum kehidupan masyarakat perkotaan. Bagaimana industri mampu merubah pola konsumsi masyarakat perkotaan, yang melahirkan sebuah gaya hidup sampah yang dikemas sedemikian apik dan menarik melalui reklame gaya hidup. Pola konsumsi yang dibangun oleh industri semakin menempatkan rakyat menjadi korban, baik korban dalam pemahaman sebagai konsumen yang tingkat konsumsinya disetir oleh industri, maupun korban ikutan yang justru harus merasakan dampak dari pola konsumsi yang lebih besar. Tidak kurang 125 orang yang mati tertimbun 4000 ton/hari sampah, akibat dari sebuah pola konsumsi yang dibangun oleh elit kuasa dan modal. Demikian juga yang terjadi di kota besar lain, seperti di Jakarta yang memproduksi sampah 6000 ton/hari
Cerita lain dari masyarakat perkotaan di Pulau Jawa adalah hilangnya ruang hidup rakyat tersingkir oleh derasnya laju pembangunan dan industrilisasi seperti yang dialami oleh komunitas pertama Jakarta, yang saat ini hanya menyisakan 30% komunitas, dan tinggal menunggu waktunya tersingkir.
Pembangunan infrastruktur industri, telah mengabaikan kerentanan pulau Jawa terhadap bencana. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya hitungan bencana yang masuk dalam angka belanja negara, dan buruknya penanganan bencana yang menyebabkan rakyat kembali harus menjadi korban kedua kalinya akibat dari lemahnya negara didalam merespon bencana. Bahkan, bencana kemudian menjadi sebuah komoditi baru, ketika bantuan kemudian diokupasi oleh elit kuasa dan modal. Rakyat akan ditempatkan sebagai korban yang tidak berdaya, dengan jualan kesabaran dan bahkan dengan tidak malu-malu menyertakan Tuhan dalam cerita komoditas baru yang bernama bencana. Kurang lebih 6400 orang meninggal dunia dalam bencana gempa di Yogya, belum lagi ribuan orang yang kehilangan tempat tinggal.
Jika ditarik garis lurus, bahwa kelas yang berkuasa pada jamannya, dari jaman kolonial hingga rezim saat ini, meletakkan sebuah pondasi pembangunan dengan mimpi yang sama yakni kemakmuran dan kesejahteraan bagi pelanggengan kekuasaannya. Bahkan dengan menggunakan bacaan yang sama, bahwa seluruh cerita pembangunan infrastruktur industri, digunakan sebagai sebuah ajang bagi bentuk konsolidasi modal, politik (kekuasaan) dan militer.
Semua pemilik kuasa, juga menggunakan cara pandang yang sama dalam melihat rakyat.Rakyat dalam hal ini, hanya ditempatkan sebagai objek, tidak lebih dan tidak kurang. Karenanya, rakyat akan selalu didudukkan sebagai hamba yang baik, korban yang baik dan penerima nasib yang baik.
Bagaimana kita melihat dan menyaksikan sebuah bentuk pengorbanan yang diminta oleh penguasa terhadap rakyatnya untuk kebutuhan memudahkan berjalannya pengembangan ekonomi dan laju investasi di Jakarta, pembangunan sejumlah jalan di Jakarta memang disiapkan dengan menyediakan tanah-tanah bagi kepentingan bisnis, yang itu artinya sedang mendorong industri untuk memainkan perannya yang begitu besar dalam pembangunan perkotaan. Kebijakan pemerintah melalui Perpres 36/2005 dan kemudian direvisi menjadi Perpres 52/2006, yang melegitimasi pengambilan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan infrastruktur dengan atas nama kepentingan umum.
Pembangunan dan perluasan infrastruktur, dipastikan akan menggusur ribuan orang yang dipaksa untuk berkorban dengan atas nama kepentingan bersama, kepentingan bangsa, dan yang lebih menjijikkan dengan atas nama stabilitas ekonomi dan politik.
Lalu bagaimana dengan impian kemakmuran yang selalu disuarakan dengan lantang oleh kelas yang berkuasa di Jawa, apakah kemakmuran yang diimpikan itu untuk seluruh rakyat? Kemakmuran bagi kelas yang berkuasa di Pulau Jawa, menjadi sebuah keniscayaan untuk melanggengkan struktur kekuasaannya, bahkan termasuk dengan mengabaikan keselamatan, kesejahteraan, produktifitas dan keberlanjutan pelayanan alam.
Kemakmuran, dalam seluruh cerita pembangunan menjadi sebuah impian dari elit dalam sebuah sistem kekuasaan (power sistem), dan menempatkan rakyat sebagai objek dari seluruh alur dari perwujudan cerita impian kemakmuran ini. Kemakmuran adalah angka-angka penderitaan rakyat yang dapat dimanipulasi melalui asumsi yang tidak masuk akal dan menghina akal sehat, antara lain dengan angka kemiskinan.
Bagi rakyat yang selalu menjadi objek, kemakmuran hanya sebuah ilusi atau mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan dari rakyat yang selalu berkorban. Dari waktu ke waktu sejak jaman kolonialisasi, orde lama, orde baru, hingga masa reformasi selalu menempatkan rakyat sebagai objek semata, dan karenanya jika kita melihat krisis yang dialami oleh rakyat dari tahun ke tahun, sesungguhnya kita sedang melihat siklus yang sama. Derajat korban dari waktu ke waktupun mengalami hal yang sama. Tak bernama, dan tak berwajah.
Kemiskinan menjadi sebuah fakta riil dari masa ke masa, yang dialami oleh rakyat yang tidak memiliki “kemampuan” didalam merespon krisis yang diciptakan oleh akumulasi kekuatan modal dan kuasa. Bahkan, krisis ini semakin terus menerus lahir dengan durasi yang lebih panjang dan meluas.
BPS menyampaikan data kemiskinan pada tahun 2006 yang menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan meningkat mencapai 3,90% dari tahun sebelumnya, menjadi 35,10 juta orang dan sebagian besar terjadi di pedesaan, yang disebabkan oleh semakin hilangnya sumber-sumber produksi yang dikuasai oleh para pemilik kuasa modal.
Jangankan janji kesejahteraan atau kemakmuran seperti yang selalu dikampanyekan oleh para pelaku pemilik kuasa, keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung sebagai sebuah cost yang seharusnya menjadi dasar didalam pengambilan kebijakan pembangunan.
Cerita pengentasan kemiskinan juga bukan hal yang baru, pemerintah selalu memiliki program pengentasan kemiskinan, bahkan dengan mengajukan utang luar negeri. Sayangnya program tersebut, justru tidak pernah menjawab krisis kemiskinan yang terjadi.
World Bank bahkan mengajurkan bahwa salah satu program pengentasan kemiskinan adalah dengan program pertumbuhan ekonomi. Padahal rumus ekonomi tidak pernah memberikan distribusi yang adil bagi rakyat, karena sesungguhnya pertumbuhan ekonomi tidak lebih hanya menjadi bentuk akumulasi dari pemilik modal dan pengurus negara yang menguasai tata kuasa, tata produksi, tata konsumsi, tata guna lahan.
Gizi buruk, angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi, menjadi fakta-fakta yang disajikan setiap hari oleh media massa yang mengiringi sarapan kita setiap pagi. Lalu dimana adanya impian kemakmuran itu, sesungguhnya dia hanya ada di ruang-ruang mewah.
sumber : catatan perdana Java Collapse
Posted by khalisah khalid at 4:19 AM 3 comments
Panasnya Batu Bara
Panasnya Batu Bara
Khalisah Khalid
Di luar dugaan, Menteri Keuangan mengeluarkan surat pencekalan terhadap petinggi perusahaan tambang.
Mereka dicekal karena mangkir membayar royalti 13,5 persen. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp 3 triliun.
Lelucon politik
Situasi memanas. Adu argumentasi terjadi antara pemerintah dan perusahaan tambang batu bara yang dicekal. Situasi ini sebenarnya hanya lelucon politik yang dimainkan elite oligarki yang menguasai hampir seluruh negeri. Negeri ini sudah dikuasai korporasi sehingga dikenal sebagai negeri korporatokrasi yang berwatak eksploitatif.
Disebut lelucon karena kondisi ini muncul akibat regulasi yang dibuat pemerintah sendiri melalui peraturan pemerintah yang menyebutkan, tambang batu bara tidak terkena pajak, lalu mengapa kebakaran jenggot?
Kita tahu, karakter pertambangan di Indonesia tidak terbarukan, berumur pendek, berdaya rusak tinggi. Pertambangan juga berorientasi ekspor bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mengakibatkan Indonesia mengalami krisis energi di tengah limpahan batu bara. Bukankah ini buah skenario kolaborasi penguasa dan pemodal melalui instrumen hukum yang dikeluarkan tahun 2000?
Saat perusahaan itu menghancurkan keselamatan rakyat, merusak produktivitas dan kesejahteraan rakyat, serta menghambat keberlanjutan pelayanan alam sekitar wilayah konsesi tambang, di manakah negara?
Pada sisi lain, apakah negara juga kebakaran jenggot karena saat rakyat mengalami kerugian begitu besar karena kehilangan keselamatan ruang hidup, kehilangan produktivitas, kehilangan kesejahteraan, dan lingkungan rusak tak terpulihkan mengancam generasi ke depan?
Negara tidak pernah menghiraukan itu semua karena yang terpenting adalah pendapatan bagi negara, bukan bagi kepentingan rakyat. Negara ribut karena perusahaan tambang lalai membayar royalti, tetapi pengurus negara diam saja saat perusahaan lalai memenuhi kewajibannya terhadap rakyat yang hidup di sekitar tambang.
Jared Diamond menggambarkannya dalam teori collapse. Dinyatakan, runtuh dan berkembangnya satu entitas dalam satuan lingkungan bukan ditentukan kondisi geografik alami saja.
Pilihan untuk bertahan atau collapse jatuh pada entitas manusia yang tinggal di dalamnya. Entitas pada konteks tertentu ditentukan oleh pilihan pemimpinnya dan pemimpin di Indonesia menghendaki kehancuran sumber-sumber kehidupan. Pemimpin juga melihat sumber daya alam bukan sebagai sumber kehidupan, tetapi sumber daya yang bisa diekstraksi dengan mengabaikan keselamatan manusia penduduk bumi Indonesia.
Utang ekologis
Jaringan advokasi tambang mencatat, sejak lama perusahaan tambang batu bara ini bermasalah dan ini telah melahirkan berbagai krisis di Indonesia.
Sejak tahun 1999, PT Arutmin Indonesia, misalnya, melakukan serangkaian kejahatan korporasi (corporate crime) berupa kejahatan lingkungan di sekitar wilayah konsesi pertambangan yang separuhnya ada di kawasan hutan lindung. Pertambangan ini mencemari lingkungan hidup yang menyebabkan hancurnya fungsi-fungsi ekologis kawasan itu.
Belum lagi PT Adaro Indonesia, yang telah menenggelamkan Desa Lamida Atas dan Desa Juai di Kalimantan Selatan tahun 2003, merusak pertanian dan perkebunan yang menjadi sandaran hidup petani sekitar.
Jika berniat bangkit, seharusnya negara tidak hanya menuntut royalti dari perusahaan tambang batu bara. Pengurus negara juga harus menuntut utang ekologis yang ditinggalkan. Sejak berproduksi dan mengeruk kekayaan alam di Indonesia, mereka meninggalkan kerusakan alam, mencemari tanah, air, dan sumber kehidupan dan perlu dimintai pertanggungjawaban. Belum lagi pelanggaran HAM, baik terkait hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mengadili mereka bukan hanya karena soal uang, tetapi juga cara dan watak mereka, datang, gali, dan pergi dengan meninggalkan kerusakan lingkungan, menurunnya kualitas kesehatan dan kemiskinan.
Pengurus negara perlu menyadari, industri pertambangan skala besar—salah satunya batu bara—kontraproduktif dengan sumber kehidupan berkelanjutan.
Khalisah Khalid Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
Baca selengkapnya...Posted by khalisah khalid at 4:28 PM 0 comments
Hai ibu...
Hai ibu….
Biarkan suami, anak-anakmu
Lepas dari ingatan-mu sekali saja
Paling tidak hari ini
Karena hari ini adalah milikmu
Bersenang-senanglah dengan dirimu
Membebaskan pikiranmu
Tentang kami yang selalu menuntut hari-harimu
Selalu ada hanya untuk kami
Dari sejak matamu terbuka
Hingga bergelayut rasa kantuk yang membuatmu
Terbaring sambil melantunkan lagu nina bobo
Ah... lagi-lagi itu yang kami minta
Hai ibu ....
Mungkin kau juga tidak bisa membiarkan
Pikiranmu hanya ada bersama dirimu
Dengan segenap kemanjaan, hanya untuk dirimu
Karena dalam dirimu sudah mengalir sebuah
Nafas yang tiada henti untuk kami
Hai ibu......
Aku mencintaimu, teramat sangat
Biarkan aku menyatakan ini
Dengan caraku sendiri
Posted by khalisah khalid at 2:17 PM 0 comments
aku baca lagi suratmu
Naya,
Kuharap kabarmu baik-baik
Minumlah obat dari dokter, agar sakitmu
Cepat berlalu
Hentikan mengkonsumsi mie rebus dan teh botol kesukaanmu,
yang selalu membuatmu sakit tak berdaya
Karena aku masih ingin menyaksikan
Tawa keceriaanmu
Di tengah-tengah orang kampung
Naya,
Pesawat kami sudah mendaratkan badannya di bandara narita
nampak juga teman dari beberapa Negara
Bekas jajahan Jepang
Ya ….. mungkin program studi ini
Politik balas budi Jepang
Terhadap Negara-negara
Jajahannya tempo dulu
Aku ingin membawamu serta
Jalan-jalan disini, di taman kota
Melihat inmemorial park, sejarah kelam
Jatuhnya bom di Hiroshima
Walaupun kau bilang sama seperti di taman masjid Istiqlal
Menyusuri kota dengan tramp yang sangat teratur
Atau naik bus way yang sangat menakjubkan
Bersih, nyaman dan tak ada anak-anak penjaja asongan
Karena anak-anak miskin disini sudah dijamin
Seluruh kehidupan dan biaya sekolahnya oleh pemerintah
Tidak seperti dinegara kita
Kau pasti suka melihatnya
Karena kau selalu takut melahirkan anak
Yang hanya akan menanggung utang haram
yang dilakukan pendahulunya
Naya sayang
Aku senang sekali melihatmu begitu semangat
Membantu orang-orang susah
Bukan hanya dalam kata, tapi juga dalam tindakanmu
Kebeningan hati dan wajahmu
Seperti sejumput cahaya
Ditengah gelap gulitanya negeri antah berantah ini
Tanganmu yang begitu kecil
Selalu terulur untuk menolong orang-orang pa-pa
Naya
Tiba-tiba aku teringat wajah lembutmu
Aku ingin mengecup keningmu
Mengurangi sakitmu
Mendekap hangat tubuhmu yang mungil
Yang selalu menemaniku dimasa-masa sulit
aku rindu sekali mendengar suaramu
aku ingin bercerita banyak hal
yang terjadi disini, sampai kau terlelap dalam tidurmu
“seperti dongeng penghantar tidur”
begitu katamu, kalau aku sering bercerita
dari Maroko sampai Marauke
ah ….. aku sungguh rindu
Naya
Semoga kasih Tuhan yang Maha Sempurna
Memberikan kita karunia-Nya
Untuk menjalani hidup bersama
Amin …..
11 Mei 2006 (Jakarta)
Suatu hari dimana aku meminta pada Tuhan untuk membiarkan aku tidur panjang, dan tidak ingin terbangun lagi karena aku merasa tidak mampu membuka mataku untuk melihat dan melalui realitas hidup ini. Pilihan untuk kembali ke Aceh kuputuskan jam 00.00, ketika telah mencapai titik nadir sebuah keputusasaan yang tiba-tiba menghantamku laksana palu godam.
Aku tidak pernah mengerti dengan pilihan tempat ini, aku hanya mengiyakan tawaran sahabatku untuk mulai membangun ulang kehidupanku disana.
”Mari Naya, kita sudah harus check-in, nanti telat”. Segera aku melipat lagi surat, lewat media virtual yang selalu kau kirimkan pada sangperempuanmu. Kalau hari ini, takdir Tuhan tidak menghendaki kebersamaan kita didunia ini. Berjanjilah, kau akan membawaku pergi pada kehidupan lain yang kau yakini ada. Rainkarnasi, entahlah..….. Kau begitu percaya bahwa rainkarnasi niscaya keberadaannya.
Seperti kau dulu seakan pernah berjumpa denganku, dan kemudian Tuhan tiba-tiba saja mempertemukan kita, walaupun akhirnya kita harus kembali dipisahkan oleh sebuah realitas yang kadang kala tidak kita mengerti alurnya.
“Tuhan, aku berserah diri pada-Mu. Temani dan jaga kekasih hatiku dalam setiap tarikan nafasnya. Kuatkan aku dalam setiap langkah kakiku, diantara orang-orang miskin yang hari ini selalu tertindas”.
Perlahan dan pasti, pesawat yang kami tumpangi mulai tackoff, dan tiba-tiba saja semua alur hidup yang selama dua tahun kita lalui bersama, menampakkan dengan jelas harapan hidup yang tiba-tiba kandas dan aku tertinggal disini dalam jalan-jalan sepi yang harus kulalui sendiri. Aku betul-betul tidak menduga, tangan Tuhan menarikku untuk kembali ke negeri Nanggroe Aceh Darussalam dalam kondisi yang terbalik 180 derajat.
“Bangun Naya, sudah pagi”!!!. Ketukan pintu seperti membangunkan aku dalam percakapan panjang malam tadi. Ups, very nice. Secangkir kopi panas sudah cukup menggodaku untuk segera beranjak dari tempat tidur.
“Aku kangen YaN”, teramat kangen padamu. Kucoba yakinkan hati ini, dengan menyimpan kembali surat ini diantara tumpukan buku Das Capital yang pernah dihadiahkan seorang kawan kepadaku sewaktu aku mengunjunginya.
Hai …. Kau habis menangis non, matamu sembab begitu?? Tiba-tiba saja, andrea menghentakkan aku dengan pertanyaannya yang beruntun, seperti klakson labi-labi yang berjalan disepanjang Darussalam hingga Masjid Baiturrahman.
“Tidak, mungkin hanya kurang tidur. Semalam aku terpaksa harus menyelesaikan beberapa tulisanku yang sempat tertunda hingga satu tahun”. Aku mencoba menyembunyikan kegalauanku yang sempat menyergapku hingga tengah malam tadi.
“kamu yakin tidak ada masalah sayang?” yup, I’m oke. Jawabku singkat
“Ok, non. Aku tunggu diruang depan ya. Kau harus baca
“lihat Naya, tulisanmu ada di opini koran lokal hari ini. Baru satu minggu disini, kau sudah nampak seperti pengamat NAD ini”. Kita bisa rayakan ini nanti malam dengan makan-makan enak ya. Ok, honey??”
“bisakah kakak carikan aku sebotol bir, aku butuh untuk menemani tidurku yang sudah terganggu satu minggu ini”.
Hai,hai, hai … Naya, aku mengajakmu untuk makan-makan saja, anggaplah ini sebagai bentuk penghargaan karena tulisanmu sudah dimuat. Jangan lari ke alkohol dong sayang, apalagi ini daerah yang menerapkan syari’at Islam. Tidak akan dijual untuk orang muslim seperti kita.
“Please Naya, ada aku dan banyak teman-temanmu yang lain, yang terlalu besar cintanya padamu. So, kamu tidak perlu merasa sendiri”. “Aku mengenalmu dengan sangat, kamu perempuan tegar yang pernah kami kenal dalam ikatan pertemanan kita selama ini”. Sayangi dirimu Naya, seperti kami sangat menyayangimu. Bagaimana kalau kita ke pantai Lokhnga?, kau bisa mencurahkan semua kegundahan hatimu pada segenap kekuatan alam”.
“Nikmatilah bumi serambi mekkah yang sedang berdamai ini, setelah konflik yang berkepanjangan antara GAM dan RI. Kita bisa menyusuri sepanjang hutan yang indah di Aceh Selatan. Kau pasti suka, bertemu dengan perempuan-perempuan tangguh yang selalu kamu kagumi dalam hidupmu. Mimpimu
Entahlah, sudah berapa banyak kekuatan do’a yang selalu menemani setiap langkah kaki yang aku lalui. Seperti terakhir seorang kawan mengirimkan sms untukku. “Naya, seiring do’a sahabat-sahabatmu, kamu akan dikuatkan. Tuhan akan jaga kamu dalam setiap tarikan nafasmu”.
Selesai membaca beberapa
Konflik bersenjata yang berkepanjangan, telah membuat kondisi di Lhokseumawe sebagai salah satu tempat yang sering terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI sedikit mengkhawatirkan sampai hari ini. Pos-pos TNI dan polisi sampai hari ini juga masih berdiri, meskipun sudah banyak pasukan TNI non organic yang ditarik, pasca penandatanganan MoU antara GAM dan Pemerintah RI di Helsinki. Mungkin sisa-sisa trauma itulah yang hingga hari ini, orang lebih banyak mengunci mulutnya untuk bicara lagi soal hari-hari yang penuh penderitaan yang dilalui oleh perempuan-perempuan disini. DOM, hingga darurat sipil, sudah cukup menggambarkan bagaimana pahitnya perempuan berada dibalik moncong senjata selama kurang lebih 30 tahun. meskipun kekhawatiran juga menyelimuti jika pembahasan RUU PA tidak aspiratif dan MoU Helsinki dianggap gagal, seperti perjanjian damai yang sudah beberapa kali dicoba dan selalu gagal, maka bumi NAD akan kembali kemasa suramnya. Ah, Tuhan .... semoga itu hanya menjadi ketakutanku yang berlebihan. sungguh, jangan biarkan Aceh harus kembali kehilangan orang-orang yang tak berdosa, hanya demi alasan nasioalisme.
Rupanya, selain hobby menembak dan menumpas GAM di Aceh Utara, militer juga senang bermain-main dengan bisnis disini. Aceh Utara memang kawasan industri, sehingga sangat wajar daerah ini begitu ramai dan juga tingkat polusinya mengkhawatirkan. Militer disewa oleh korporasi untuk menjadi anjing penjaga, salah satunya PT. Arun yang mengeksplorasi dan eksploitasi GAS. Tembok yang tinggi menjadi pemisah yang cukup menyakitkan dengan perkampungan yang mayoritas penduduknya miskin. Ujong Blang adalah kawasan pantai yang juga terkena prahara tsunami, menjadi saksi dari buruknya potret investasi asing sekian puluh tahun lamanya di bumi Nanggroe ini. Dimana-mana, investasi di pertambangan memang menjadi industri yang paling gelap. Gelap karena seakan-akan tertutup, sehingga banyak dokumen yang harusnya diketahui oleh publik, jutru disimpan rapat-rapat, dengan alasan rahasia negara. Aneh bukan?? Tapi beginilah nikmatnya bermain sebagai investor di negeri yang kekayaan alamnya dibuka sebesar-besarnya bagi industri ekstraktif, tidak peduli rakyatnya harus mati dibalik tembok keuntungan bermilyar-milyar bahkan trilyunan hasil eksplorasi dan eksploitasi pertambangannya.
Seorang teman tiba-tiba mengejutkan aku, “kau harus bisa jaga diri disana, Naya”. Masih banyak mata-mata liar yang akan siap memangsamu, karena aktifitasmu itu. Apalagi jika berhadapan dengan investor asing yang kuasanya melebihi Tuhan di negeri ini.
Oh,iya. Meskipun sudah dalam kondisi damai begini??” tanyaku dengan terheran-heran
Betul Naya, karena kau bukan saja ingin mengetahui seluk beluk peran perempuan dalam mengelola sumber daya alamnya, tapi kau juga mau mengetahui sejauhmana tentara bermain dalam bisnis sumber daya alam. Tapi jangan khawatir, aku sudah menghubungi beberapa kawan, yang akan menemani aktifitasmu selama ini.
Dengan menumpang travel L300, kendaraan inilah yang selalu setia menemani masyarakat Aceh yang hendak berlalu-lalang dari Kabupaten satu ke Kabupaten yang lain. 17 Kabupaten dan 4
Travel menjemputku jam 20.00 WIB, dan terus berkeliling menjemput penumpang hingga penuh. 5 jam kurang lebih, waktu yang tempuh yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke Lhokseumawe. Sepanjang jalan, meskipun agak gelap, aku mencoba menikmati perjalanan dengan sesekali menengokkan kepala ke arah luar jendela. Jalan-jalan yang cukup banyak lubangnya, mirip dengan kubangan air. Mungkin partai Golkar kalah telak di sepanjang daerah ini. Karena kata seorang kawan, itu salah satu indikator yang bisa menyebutkan Golkar kalah atau menang di suatu daerah pemilihan, lihat saja kondisi jalannya, apakah beraspal atau masih berlubang-lubang. Ha,ha,ha ..... mungkin alasan yang lucu, tapi sangat masuk akal, karena siapa yang tidak kenal dengan partai utama pendukung status quo ini. Melalui daerah Pidie, tempat kelahirannya Hasan Tiro, yang disebut-sebut oleh Wali Nanggroe oleh sebagian masyarakat Aceh. Tokoh GAM yang menghabiskan waktunya di Swedia, akhirnya dapat menghantarkan rakyat Aceh pada sebuah peristiwa penting dengan lahirnya nota kesepahaman perdamaian antara
Andrea mulai mengoceh dengan gayanya yang khas. Naya, dimasa konflik baik waktu DOM, darurat militer sampai darurat sipil, tak ada travel yang berani lewat di malam hari. Selain karena jalannya yang buruk begini, kontak senjata biasanya akan sering terjadi. Saling bersahut-sahutan seperti sirene kereta api jabodetabek itu. Banyak pos-pos tentara disepanjang jalan ini. Tapi biasanya, tidak ada tentara yang berani lewat jalan ini, jika jumlah mereka bisa dihitung dengan jari. Mana mau mereka mati konyol, kalau nggak satu kompi, mereka nggak akan melintas disini, apalagi di malam hari.
Warga sipil juga agak takut, karena banyak juga yang kena peluru nyasar atau tiba-tiba dituduh GAM. Pokoknya benar-benar mencekam. Disetiap perbatasan juga biasanya akan diperiksa kartu identitas kita, KTP Indonesia atau bukan.
What, KTP
Seperti apa KTP Indonesia itu, andrea?
KTP merah putih nona, seperti ini. Andrea memperlihatkan KTP merah putihnya yang sudah agak kumal itu warna benderanya.
My God, kasihan sekali saudara-saudaraku di Aceh. Untuk urusan KTP pun, mesti diyakinkan seseorang NKRI atau tidak.
Naya, inilah Aceh. Daerah istimewa, yang selalu mendapat perlakukan khusus. Dari mulai DOM, darurat sipil dan darurat militer adalah perlakukan-perlakuan khusus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, untuk membungkam suara-suara yang menuntut Aceh, Freedom from
Rasa lelah yang teramat sangat, membuatku tertidur diantara setumpuk pertanyaan di kepala. Tuhan, beginikah cerita bangsaku, uang negara dihambur-hamburkan untuk membayar tentara berperang melawan rakyatnya sendiri.
Camp-camp pengungsian masih berdiri diantara tiupan angin malam yang menusuk sampai ke sum-sum tulangku, pasti para pengungsi itu kedinginan. Benarkah ini di Indonesia, di negeriku yang katanya Agama menjadi pandangan hidupnya, dan ramai-ramai membantai kelompok atheis yang dianggap penjahat karena tidak mengakui Tuhan. Jika saja Tuhan mendengar, tentu takkan dibiarkan para ”penjahat” berbaju agama itu berdo’a diantara dosa-dosa kemanusiaan yang dibuatnya.
1 jam lagi kita akan tiba di Lhokseumawe Naya, Andrea membangunkan aku dengan lembutnya. Seperti seekor ayam betina yang mengajak anaknya mencari makan, tatkala matahari mulai menampakkan cahaya kemerahannya. Ayam betina yang sangat rajin, mencari nafkah untuk anaknya dan selalu melindungi anaknya dari berbagai ancaman. To respect, to protect and to pulfill rupanya lebih dimiliki oleh seekor ayam betina, daripada pejabat-pejabat bangsa ini.
Aku merapikan kerudung, sambil memasuki pintu gerbang kantor NGO lokal. Ups, sampai juga akhirnya setelah 5 jam perjalanan menyusuri jalan yang berkelok-kelok, berlubang-lubang seperti pelari yang menempuh marathon di sirkuit dan tentu saja melalui banyak bekas-bekas pos-pos tentara dan GAM disepanjang jalan Banda Aceh-Lhokseumawe.
Cerita demi cerita mengalir dari sosok perempuan yang kutemui digubuknya yang rindang. Perempuan paruh baya yang begitu getir hidupnya dimasa-masa konflik. Anak laki-laki yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung keluarganya harus mati terkena timah panas sewaktu GAM dan TNI kontak senjata diperbatasan gampong. kini dia harus menghidupi dirinya sendiri. aku begitu takjub dengan ketabahan dan keikhlasannya menghadapi banyak ujian hidup. baginya mungkin menjadi kebanggan ketika anak yang dilahirkan dari rahimnya mati demi memperjuangkan sebuah kemerdekaan yang hakiki untuk rakyat Aceh yang telah sekian lama mengalami penindasan oleh bangsanya sendiri.
Dengan langkah-langkah yang pasti, aku mulai mendekati batas tembok antara PT. Arun dan pemukiman nelayan yang miskin ini. hmm.... dari jauh memang penjagaannya terlihat sangat ketat. maklumlah, eksplorasi dan eksploitasi ekstraktif memang begitu tertutup, sama tertutupnya dengan UU Migas yang sengaja dibuat begitu sangat tertutup bahkan hanya untuk mendapatkan hak informasi publikpun, akan dianggap sebagai dokumen negara yang tidak boleh diketahui oleh organisasi masyarakat sipil, apalagi cuma kelas nelayan seperti di Ujong Blang ini.
Harusnya aku bisa membantu mereka, tapi sayangnya tanganku terlalu kecil untuk membantu perempuan-perempuan yang tak berdaya. Yang paling mungkin aku lakukan adalah menghubungkan mereka dengan beberapa kenalanku di NGO perempuan, mungkin belum tentu bisa menyelesaikan masalah, tapi paling tidak akan semakin banyak orang yang membantu mereka, akan semakin ringan menghadapi kekuasaan modal yang begitu angkuhnya.
Tuhan, tentu Engkau tak pernah tertidur. Seperti banyak ayat yang menyebutkan itu dalam kitab suci-Mu. Bantulah beri mereka kekuatan dan petunjukmu, agar hari-hari yang mereka lalui tak lagi segelap langit dikala mendungnya.
Aku menghisap rokok dalam-dalam, menghabiskan cerutu sambil sesekali menengadahkan wajahku ke langit-langit perbatasan diujung sana. Bumi Nanggroe mungkin sudah begitu lelah memikul beban kejahatan penguasa dan pengusaha, hingga dia muntahkan bencana di negeri ini. Mungkin Tuhan tidak rela membiarkan lebih banyak lagi korban berjatuhan akibat perang, Tuhan lebih awal menjemput nyawa anak-anak karena Tuhan sangat menyanyanginya dan tidak mau anak-anak menjadi korban perang.
Aku memesan lagi satu cangkir kopi ulee kareng, the famous coffe, yang memang sangat terkenal nikmatnya di kota ini selain kopi gayo. Aku senang sekali, setiap kali melihat penjual kopi meracik kopi-kopi yang sudah dipesan oleh para penikmat kopi baik penduduk Aceh maupun pendatang seperti aku. Aku kadang kala senyum sendiri, disini aku dikira seorang muallaf, seorang chines yang baru masuk Islam. Yup, mungkin karena kulitku yang putih yang dilindungi kerudung merah marun ini, menandakan sekali kalau aku pendatang di Serambi Mekkah ini.
Cita rasa kopi yang begitu menggoda, membuat aku lama berbetah-betah disini. Tapi sebenarnya bukan cuma aku, hampir sebagian besar waktu orang-orang disini dihabiskan di kedai-kedai kopi. Tapi yang membuat aku agak bingung, dengan PNS-PNS, yang jam 10.00 WIB masih berada di kedai kopi, so ... masuk kerjanya jam berapa? Tak aneh memang kata seorang kawan disini yang mendaftar menjadi PNS, bisa masuk jam 10 pagi, terus istirahat siang dan jemput anak sampe jam 2 siang and then jam 15.00 sudah bisa pulang. Justru kerja kalian yang kami tidak mengerti. Kerja setengah mati, kepala dijadikan kaki dan kaki dijadikan kepala. Belum tentu digaji, apalagi fasilitas asuransi kesehatan dan pensiun. Tapi anehnya, kalian kok menikmati sekali hidup seperti itu.
Agak susah memang mendapatkan minuman beralkohol disini, kecuali bule yang membelinya. Tapi akhirnya, itu tersedia juga di kostku. Lumayan beberapa kaleng bir yang aku dapatkan dari seorang kawan di AMM. Lagi-lagi bule, yang bisa mendapatkan minuman beralkohol ini. Syit pikirku, kok mereka bisa lebih berkuasa dari pada orang-orang pribumi.
Aku masih duduk dengan santainya, aku coba menelpon kembali seorang kawan yang janji akan menemuiku disini. Janjian memang lebih asyik di kedai kopi ini, selain suasana santainya, lagi-lagi aku senang melihat para waiters, meracik kopi dengan sempurnanya. Lucunya, memang duduknya aku sendiri di kedai kopi ini menjadi pemandangan yang aneh. Jarang sekali memang perempuan mau berlama-lama nongkrong di kedai kopi. Selain bukan menjadi kebiasaan, juga karena mayoritas konsumen kopi itu laki-laki. Tidak ada catatan sejarah yang absah memang, tapi begitulah kondisinya. Kopi dan rokok identik dengan laki-laki.
Sebenarnya aku bukan bermaksud tidak menghargai budaya disini, yang menabukan perempuan merokok, walaupun nenek-nenek di kampungku juga banyak yang merokok tuh. tapi aku lebih ingin bicara soal kebutuhan yang harus terpenuhi. Hari ini, aku butuh kopi dan rokok untuk menemaniku paling tidak sampai malam nanti, jadi itulah yang aku penuhi. Sambil iseng menunggu kawan, tak sengaja mataku tertuju pada gantungan kunci yang menghiasi tasku.
Hak anda jika ditangkap polisi, sambil senyum-senyum aku membaca lagi isi dari kampanye yang ada di gantungan kunci ini. Ketua Pansus RUU PA pernah terkaget-kaget ketika aku memberikan gantungan kunci itu ke dia. Maksudnya apa ini dek? Apa kamu mau abang ditangkap polisi. Loh, abang gimana sih?? Ini kan buat mengingatkan hak abang, siapa tau nanti diperlukan. Maklumlah, bukannya sekarang lagi musim-musimnya anggota DPR diperiksa polisi, walaupun banyak teman-teman sesama Dewan protes, demi nama baik partai alias koorps. Artinya kau mendo’akan abang nanti terjegal kasus? Hai, abang kok berpikir buruk gitu sih? nggak lah, masa’ orang sebaik Ketua Pansus ini bisa ditangkap polisi. Bisa terbengkalai dong pembahasan RUU PA kita. Jawabku sekenanya. Tapi aku senang, membuat dia jadi terbengong-bengong begitu.
Good idea, gantungan kunci ini banyak aku bagikan ke masyarakat di kampung-kampung terutama yang sedang menghadapi kasus dengan investor yang sesuka hati berinvestasi disini. Menyewa polisi dan tentara untuk menakut-nakuti dan mengintimidasi rakyat, salah satunya lewat penangkapan yang illegal. Yup, illegal karena justru seringkali mereka tidak memakai kaidah-kaidah hukum untuk menjerat rakyat miskin yang berani melawan investor dan pemerintah. Kampanye dengan gantungan kunci, membuat rakyat jadi tahu dengan hak-haknya yang seharusnya diberitahukan oleh para penegak hukum, tapi justru seringkali malah disembunyikan. Termasuk hak untuk didampingi oleh pengacara selama diperiksa. Boro-boro didampingi pengacara, yang ada juga penuh dengan lebam-lebam karena mengalami penyiksanaan selama diperiksa. Padahal negara ini telah menandatangani DUHAM yang salah satunya memuat bahwa tidak dibenarkan orang mengalami penyiksanaan yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaannya atas nama apapun.
Hai Naya, sorry saya terlambat. Tetapi saya tahu, kamu
Ketika aku mengabarkan bahwa aku akan pindah ke Aceh dalam beberapa bulan, semua ”pengawalku” ini sibuk sekali untuk menanyakan kebutuhanku menjadi klien mereka selama di Aceh, mereka langsung menghubungi aku dengan volunteer lembaga ini yang ada di Banda Aceh. Aku datang ke kantor mereka, tetapi secara halus aku menolaknya, karena di Aceh ini, kebetulan aku tidak menangani kasus atau konflik. Jadi tidak perlu dikawal, untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan.
”Kamu kelihatan lebih hitam Shobha”, cetusku sambil menghirup kopi yang masih tersisa
”Oh iya ya, karena aku liburan di Sabang dan setiap hari berjemur di pantai”.
“Kamu harus kesana, pantai Iboh sangat eksotis untuk dikunjungi”. Sarannya padaku dengan santainya.
Ya …. Selain Medan dan Singapura, Sabang memang menjadi daerah favorit bagi para pendatang, utamanya para pekerja NGO Internasional atau lembaga donor untuk berlibur diakhir pekan.
”Berapa lama kamu akan tinggal di Aceh”? Tanyaku sambil menyalakan rokok yang untuk yang kesekian batang
Kurang lebih tiga bulan, aku menikmati liburan sebelum aku kembali ke India dan menetap disana”. ”Mungkin ini pertemuan kita yang terakhir di Indonesia, aku senang sekali bisa bertemu dan berteman dengan kamu, Naya. Ucapnya dengan lirik yang agak sedih.
”Kita masih bisa berkomunikasi melalui email, dan kamu tetap bisa berhubungan dengan organisasi kami. Kami senang sekali bisa bekerjasama dengan kamu dan teman-teman selama disini”.
Ya, aku juga sangat berterima kasih. Kamu dan organisasimu sudah banyak membantu aku dan organisasiku. Kalau tidak ada kalian, tentu kami akan menemui banyak kendala dengan aparat kepolisian di negara kami sendiri. Aku juga senang sekali, sudah merasakan masakan ala India buatanmu yang sangat nikmat. Ya .... ini sangat menyenangkan shobha, sungguh.
Kami kembali saling berpelukan erat, sungguh menyenangkan pertemanan kami. Meskipun jarang sekali bertemu, tapi selalu saja mengalir doa-doa dan harapan agar hidup kami bisa berguna untuk orang lain. Tuhan, aku masih ingin terus hidup disini.
Posted by khalisah khalid at 10:53 PM 0 comments