Oleh: Khalisah Khalid
“Saya menggunakan cream pemutih, biar bisa lebih cantik”. Itu ungkapan seorang perempuan yang tinggal di salah satu daerah miskin di Jakarta. Bagi banyak orang, mungkin itu hal yang biasa karena memang banyak dilakukan oleh perempuan untuk mempercantik dirinya sesuai dengan definisi cantik versi iklan-iklan produk kosmetik bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih.
Tubuh perempuan dijadikan sebagai objek yang paling “empuk” untuk pasar industri ekstraktif, tingkat konsumsi pada perempuan dibangun oleh sebuah pusaran modal. Dari sini kita dapat menilai bagaimana pusaran modal telah mampu merubah pola konsumsi perempuan dan keluarganya, bahkan dalam menilai tubuhnya sendiri.
Sistem ekonomi politik kapitalistik yang menempatkan sumber daya alam sebagai onggokan komoditas, menggunakan perempuan sebagai “alat” untuk melanggengkan alir sistem kapitalisme yang dibangun oleh berbagai industri ekstraktif seperti industri tambang dan perkebunan skala besar. Peran perempuan ditempatkan sebagai objek pekerja yang kebanyakan adalah buruh kontrak atau buruh harian lepas, dengan upah murah dan bahkan seringkali buruh perempuan ini tidak mengetahui berapa penghasilan yang bisa mereka dapatkan dari keringatnya sebagai buruh perkebunan besar.
Ketika perempuan kehilangan sumber produksinya, dan bekerja di industry ekstraktif, perempuan ditempatkan di bagian penyemaian, pembibitan dan panen dengan alasan perempuan lebih teliti dan lebih sabar, semua itu khas dilekatkan pada pekerja perempuan. Sementara justru disanalah tingkat resiko tinggi dialami oleh buruh perempuan, yang setiap harinya bergelut racun yang bersumber dari pestisida tanpa alat pengaman yang cukup untuk melindungi kesehatan perempuan.
Sayangnya selama ini, persoalan pengelolaan kekayaan alam belum dipandang dalam sudut pandang perempuan. Yang dibicarakan oleh pengurus negara hanya berurusan dengan harga, supply, demand, dan transaksi politik. Sangat jauh dari krisis dan seolah-olah tidak ada relasinya dengan apa yang dialami oleh perempuan dan komunitasnya.
Bahkan ketika terjadi bencana ekologis, cerita perempuan tidak pernah ada. Dalam kasus lumpur Lapindo misalnya, urusannya seolah-olah bergeser pada isu “jual beli” tanah yang lagi-lagi berurusan dengan laki-laki. Sementara hak-hak dasar perempuan yang tercerabut dari ruang hidupnya diabaikan. Padahal, hilangnya sumber-sumber kehidupan, mengakibatkan berkurang atau hilangnya esensi hidup perempuan itu sendiri sebagai manusia.
Pertarungan pada tubuh perempuan dalam isu lingkungan hidup dan pengelolaan kekayaan alam paling tidak bisa dilepaskan dari peta geo politik dunia dengan berbagai Forum Internasional, mulai dari deklarasi Stockholm pada tahun 1972, KTT Nairobi, KTT Bumi Rio de Janeiro sampai KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg yang diniatkan untuk membahas problem pokok global yakni lingkungan dan kemiskinan, dalam perjalanannya semakin bergeser.
Isu pembangunan bergulir semakin kuat dan mendominasi dinamika ekonomi politik global dan nasional. Namun dalam perjalanannya, gambaran pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan, semakin jauh dari harapan. Kuatnya intervensi modal transnasional dan multinasional lebih mendominasi, untuk membatasi peran negara hanya sebatas pada ruang regulator dan fasilitator.
Ide pembangunan berkelanjutan justru banyak menjauhkan perempuan dari akses dan kontrolnya terhadap kekayaan alam. Isu pembangunan berkelanjutan yang dipraktekkan saat ini jelas mereduksi akar masalah yang dialami oleh perempuan, ketika pengatahuan sebagai eksistensinya yang khas sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat bernegara tergantikan oleh peran-peran teknologi. Revolusi Hijau menjadi contoh yang paling nyata, atas intervensi kapital atau pasar yang telah mengecilkan perempuan sebagai penjaga pangan (food gathering) yang melanggengkan reproduksi sosial perempuan dalam komunitasnya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, pada tahun 2007 paling tidak ada 52 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan terkait dengan isu pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Angka ini dapat menjadi sebuah petunjuk bahwa kekerasan yang dialami oleh perempuan mulai dari rumah hingga pekarangan dan negaranya, tidak lepas dari apa pertarungan perebutan pengelolaan kekayaan alam.
Sebuah potret kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup. Potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah.
Pusaran Modal dan Tubuh Perempuan
Posted by khalisah khalid at 5:27 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment