Adianto P. Simamora, The Jakarta Post, Jakarta | Sun, 03/20/2011 2:24 AM |
Headlines
Limbuk, a housewife and farmer in Sepaso Induk village in East Kutai, East
Kalimantan, works 13 hours a day tending to her family’s rice paddy and
corn fields. She protects her crops from pests, mostly monkeys and wild
boars.
Her husband and four children, have something else to do.
Limbuk also plaits baskets to sell and prepares the meals for the family.
When it comes to family business, she takes most of the responsibility.
However, she, like other women in her village, is left out of any
decisions regarding the future.
Her house sits two kilometers away from a giant coal mine. The mine
operator is excavating large pits, one of them to be located in the
village.
The firm, however, only invited male villagers to discuss their pending
relocation. It also brought some of the men to Jakarta. Upon their return,
the men did not share what they discussed in Jakarta.
Limbuk’s story is recounted in a chapter of Women in natural resources and
environment management.
Bogor Agricultural University (IPB) of gender, food security and nutrient
division expert Ikeu Tanzih said women were increasingly marginalized in
the presence of extractive companies, from mining to palm oil plantations.
“Extractive industries are not friendly to women. The companies limit
women’s access to land for farming,” she said.
The firms also impede their access to clean water, she added.
She said the women also received unfair treatment from their husbands,
particularly those hired by the company.
A study by Ikeu found housewives from low-income families were more
responsible for food, education and housing compared to the husbands.
The study said women played a role as the family’s breadwinners, managing
natural resources and creating income. The study also showed 74 percent of
households relied on the women for their meals.
“Low-income families are prone to food crises if agricultural policies
continue to ignore gender issues.”
A report by the UN’s Food and Agriculture Organization in 1995 said women
produced more than 50 percent of the food for the world.
Indonesian Forum for the Environment (Walhi) activist Khalisah Khalid said
women had a wealth of local knowledge in preparing food for families, but
their roles were never acknowledged in the community.
Firms overlook the hands that feed
Posted by khalisah khalid at 10:22 AM 0 comments
Pernyataan MANUSIA dan SHI atas Bencana Nuklir di Jepang
Kontak media:
Dian Abraham (0815-9487094)
dianabraham@yahoo.com
MANUSIA dan SHI menyampaikan rasa duka dan prihatin yang mendalam kepada seluruh masyarakat Jepang atas bencana alam maupun teknologi yang sedang berlangsung di sana. Sebagai masyarakat yang pernah mengalami gempa dan tsunami yang juga merenggut nyawa ribuan orang, kami dapat ikut merasakan kehilangan yang dialami saudara-saudara kami di Jepang saat ini. Demikian pula, kami sangat khawatir atas perkembangan situasi yang terkait dengan fasilitas nuklir Jepang yang telah menimbulkan korban terhadap masyarakat awam. Apalagi mengingat Indonesia pun terletak di kawasan ”ring of fire” yang sama dan bahkan berencana membangun PLTN.
Di Indonesia, dengan rasa menyesal pula kami menyaksikan sikap angkuh berbagai pejabat dan pakar lokal yang berlomba-lomba memberi penilaian yang masih bersifat dini kepada publik dengan rasa puas berlebihan. Padahal, keadaan darurat nuklir masih terus berlangsung dan keadaan di PLTN Fukushima Daiichi maupun PLTN Fukushima Daini masih dapat memburuk. Begitu pula, belum ada kabar jelas mengenai nasib PLTN Onagawa di prefektur Miyagi yang ibukotanya, Sendai, dilanda tsunami hebat.
Tidak hanya karena analisis yang dikemukakan umumnya sepotong-sepotong, tetapi juga kami meragukan kelengkapan data yang dimiliki mereka. Berdasarkan pengalaman berbagai kecelakaan nuklir dunia, terlihat jelas bahwa baik pemerintah demokratis maupun diktator, seperti Inggris, AS hingga Uni Soviet selalu membuat pernyataan yang meremehkan kecelakaan nuklir yang sedang dialaminya pada hari-hari pertama dan tidak memberikan data yang lengkap perihal fakta-fakta yang sedang berlangsung. Terlepas dari rasa hormat kami terhadap pemerintah (dan masyarakat) Jepang yang memiliki kesigapan dan kedisiplinan dalam menangani bencana konvensional, pemerintah Jepang tidak terbukti berbeda dari pemerintah-pemerintah tersebut di atas dalam masalah nuklir. Bahkan pada tahun 2002 lalu terungkap skandal penipuan data PLTN – yang tak lain dari PLTN yang bermasalah sekarang, Fukushima – oleh operator PLTNnya (TEPCO) untuk menutup-nutupi malapraktek mereka.
Karena itu, tanpa bermaksud merendahkan pengetahuan para pakar lokal, kami yakin tak seorang ahlipun tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di PLTN Fukushima Daiichi. Mereka hanya bisa mereka-reka dan berteori. Hanya pihak operator (yakni TEPCO) berikut pekerja reaktornya, badan pengawas Jepang, dan pemerintah Jepang yang paling mengetahui apa yang sedang terjadi di sana.
Oleh karenanya, demi kepentingan publik, kami memperingatkan para pejabat atau pakar untuk tidak menjejali masyakat awam dengan opini, komentar, atau analisis sepotong-sepotong yang tak dapat dipertanggungjawabkan yang bersifat memperdaya masyarakat hanya karena memiliki agenda tersembunyi terkait rencana PLTN di Indonesia. Adalah hal yang menggelikan sekaligus membodohi masyarakat mendengar suatu kecelakaan yang saat ini dikategorikan level 4 (dari tujuh level skala INES) disebut oleh “pakar nuklir” sebagai “tidak terjadi apa-apa”.
Kami mengecam pernyataan Menristek Sabtu lalu yang masih menegaskan rencana PLTN Indonesia. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan arogan pejabat IAEA beberapa waktu setelah kecelakaan Chernobyl bahwa “dunia sanggup menghadapi kecelakaan seperti Chernobyl setiap tahun”. Faktanya, hingga tahun ke-25, korban Chernobyl masih berjatuhan. Bahkan publikasi terbaru yang diterbitkan di AS mengungkap angka terbaru yakni korban meninggal yang mencapai nyaris satu juta orang.
Demikian pula, seperti halnya di Chernobyl, pengkambinghitaman juga mulai terasa dengan adanya pernyataan bahwa PLTN Fukushima seharusnya sudah harus ditutup karena sudah 40 tahun. Padahal, bukan rahasia lagi bahwa pihak yang sama pula yang bersikeras bahwa umur suatu PLTN adalah hingga 60 tahun. Dan industri nuklir pula yang saat ini memaksa berbagai pemerintah, mulai dari Jerman hingga AS, untuk memperpanjang masa pakai PLTN yang semula 30-40 tahun menjadi 60 tahun tanpa mempedulikan keselamatan publik.
Dan kami pun menyesalkan pernyataan menyesatkan bahwa PLTN dianggap sukses bila mampu mati otomatis atau dimatikan operasinya saat gempa. PLTN bukanlah obyek percobaan dalam suatu laboratorium yang patut dipuji hanya karena dianggap tidak lagi membahayakan manusia. PLTN adalah alat produksi yang berharga triliunan rupiah. PLTN yang mati otomatis setelah bencana gempa tidak berarti dapat dihidupkan kembali. Apalagi dalam hal reaktor di PLTN Fukushima yang mengalami ledakan. Hampir dapat dipastikan bahwa reaktor yang rusak sudah tidak dapat dipakai sama sekali. Setelah itu, PLTN tersebut masih harus ditangani secara khusus. Hilangnya investasi sedikitnya puluhan triliun rupiah, hilangnya jutaan kilowatt listrik yang dihasilkannya, dan bertambahnya biaya ekstra penanganan PLTN yang hancur tersebut sama sekali tidak menggambarkan keunggulan PLTN. Belum lagi jika beban itu ditanggung publik. Maka, jelas sekali bahwa itu adalah investasi yang sangat buruk yang sekaligus juga mempertaruhkan nyawa manusia.
Oleh karena itu kami menuntut kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan seluruh rencana PLTN dan mengalihkan seluruh dana publik tersebut untuk penelitian dan pengembangan energi terbarukan. Masyarakat Indonesia sudah kenyang dengan berbagai jenis bencana baik yang berawal dari peristiwa alam maupun kecerobohan manusia. Kami tidak butuh diperkenalkan lagi dengan jenis bencana baru seperti bencana nuklir.
Kepada pemerintah Jepang maupun seluruh pihak asing lainnya, kami menuntut penghentian total rencana ekspor PLTN ke Indonesia, termasuk berbagai bantuan finansial dan teknis kepada pemerintah Indonesia.
Akhirnya, kami menghimbau masyarakat luas untuk berdoa agar keadaan tidak bertambah buruk dan menambah berat beban masyarakat Jepang yang sedang berduka.
***
MANUSIA (Masyarakat Antinuklir Indonesia)
SHI (Sarekat Hijau Indonesia) http://sarekathijauindonesia.org/
Posted by khalisah khalid at 12:35 PM 0 comments