Krisis Sumber Daya Alam
Hari lingkungan yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2008 ini, menjadi sebuah moment penting untuk melihat lebih jauh arah gerakan lingkungan di Indonesia sebagai sebuah gerakan perlawanan yang lahir dari kesadaran akan kondisi pembangunan yang tidak adil, khususnya bagi Negara dunia yang berada di belahan Selatan, belahan bumi yang selalu menjadi sumber eksploitasi sumber daya alamnya dan
Jika dicermati, ada tiga isu utama yang selalu disampaikan oleh pengurus Negara tentang krisis yang dialami oleh rakyat. Dalam membaca sebuah krisis, pengurus Negara mampu melihat peta persoalan yang dialami oleh rakyatnya, antara lain krisis air, krisis pangan dan krisis energi. Sayangnya, road map yang dibuat sebagai sebuah solusi atas krisis yang dihadapi tidak ada relevansinya dengan krisis yang dialami oleh rakyat. Semua krisis dijawab dengan peta jalan memberikan alternatifnya dan mekanismenya kepada pasar, entah itu melalui regulasi, privatisasi maupun liberalisasi yang semuanya dimainkan dalam sebuah alunan orkestra penjajahan yang melemahkan Negara didalam menjalankan fungsi dan perannya untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya.
Bagi Cecil Rhodes (1852-1902), kolonialisme adalah penemuan tanah baru dimana dari tanah tersebut dapat dengan mudah mendapatkan bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat dieksploitasi dengan menggunakan buruh murah dari penduduk pribumi. Sumber daya alam (SDA), sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial dimanapun untuk mendominasi dan menanamkan kekuasannya. Dari sini saja jelas digambarkan, bahwa penguasaan Negara (kolonialisasi) terkait erat dengan sumber daya alam sebuah Negara.
Sumber daya alam, berupa bahan mentah yang dikeruk menjadi sebuah komoditas didalam kerangka pemenuhan konsumsi bagi Negara-negara maju, dan kebutuhan tersebut bukan ditentukan oleh konsumennya, melainkan oleh sebuah sistem ekonomi kapitalis yang menjual jargon globalisasi dan pasar bebas. Sementara Negara dimana ditempatkan sebagai penghasil sumber daya alamnya, justru kehilangan akses atas sumber dayanya.
Inilah yang kemudian dinamakan dengan krisis kedaulatan yang disebabkan oleh adanya dominasi ekonomi global yang dibangun oleh sebuah sistem kapitalis dimana penguasa modal dalam hal ini TNC’s/MNC’s, lembaga keuangan internasional maupun elit oligarki di
Keadaan ini lebih lanjut telah menghancurkan nilai-nilai kedaulatan dan keadilan intra dan antar generasi yang selanjutnya telah menciptakan pemiskinan rakyat. Kemerosotan kedaulatan ini ditandai dengan semakin hilangnya hak menentukan nasib sendiri baik di tataran negara hingga di tataran satuan-satuan politik yang terkecil. Kemudian kemerosotan nilai keadilan nampak dari adanya ketimpangan distribusi manfaat bahkan hilangnya hak-hak rakyat atas tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sementara itu kekuatan elit politik dan ekonomi yang mewarisi watak penguasa sebelumnya, telah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya kembali dalam ruang-ruang politik.
Ketimpangan yang dialami bangsa ini juga merupakan potret global di mana terjadi ketimpangan dalam kesejahteraan dan penguasaan asset antara segelintir orang dengan mayoritas rakyat di dunia. Tingkat kesejahteraan yang tinggi yang dinikmati oleh segelintir orang ini dapat berlangsung karena penghisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara dunia ketiga atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya.
Di sisi lain
Krisis Lingkungan
Paradigma pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai yang dibangun oleh sistem ekonomi global, selalu memiliki watak yang eksploitatid dimana pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sector tertentu yang ekstraktif seperti pertambangan dan kehutanan, berkonsekuensi pada perubahan fungsi bentang alam seperti perkebunan dan pembangunan infrastruktur dengan menyingkirkan kebutuhan lain seperti lahan untuk penyediaan lahan pangan, dan akibat lebih lanjut adalah menhasilkan pengungsi ekologik dan pengungsi pembangunan.
Jon Schubart menyatakan bahwa ekologi politik mencoba untuk menelusuri empat hal, yakni (a) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumber daya alam, (b) bagaimana konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksi menentukan interaksi manusia dengan lingkungan, (c) koneksi antara akses terhadap dan kontrol atas sumber daya dan perubahan lingkungan, (d) hasil sosial dari perubahan lingkungan.
Gerakan politik lingkungan di
Gerakan politik lingkungan di Indonesia saat ini harus memiliki kemampuan untuk memperbesar dan memperluas gerakannya, dan itu hanya bisa dilakukan jika subyek dari gerakan politik lingkungan itu adalah basis massa yang memiliki garis ideologi yang berpikir bahwa perjuangan penegakan keadilan ekologi, bukan sekedar membicarakan soal degradasi lingkungan, tetapi juga membicarakan soal keberlanjutan generasi yang akan datang, bicara soal gerakan lingkungan juga tidak terlepas dari bicara soal bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat terhadap hak-hak dasarnya yang dibangun dengan semangat kolektivitas.
Jika
0 comments:
Post a Comment