Koran Tempo/ 28 Februari 2008
Opini
Cerita tentang krisis Pulau Jawa bukan hal yang baru, demikian juga dengan prediksi bahwa pulau ini akan tenggelam karena sudah kelebihan beban. Maklum, banjir pernah mengepung Pulau Jawa pada 2007. Pada awal tahun ini, banjir juga menenggelamkan tiga perempat wilayah Jakarta, 62 kecamatan di Jawa Barat, 7 kabupaten di Jawa Tengah, dan 4 kabupaten di Jawa Timur. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jatam pada 2000-2003, tidak kurang dari 2.822 desa tenggelam akibat banjir, dengan kerugian yang tidak sedikit.
Walhi telah mengingatkan soal peta rawan bencana di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang mempunyai beban cukup tinggi. Pulau ini memiliki 125 juta jiwa atau sekitar 65 persen dari total penduduk di Indonesia. Namun, warga sebanyak itu mendiami pulau kecil yang luasnya hanya 7 persen dari seluruh luas daratan Indonesia, dengan kapasitas penyediaan air yang tinggal 4 persen dari ketersediaan air nasional. Dengan luas wilayah kurang-lebih 13 juta hektare, Pulau Jawa hanya memiliki 1,9 juta hektare tutupan hutan. Artinya, Pulau Jawa tinggal menunggu waktu untuk tenggelam.
Saat ini Pulau Jawa sebenarnya tidak lagi memiliki hutan alam. Yang tersisa hanya kebun kayu di bawah pengelolaan badan usaha milik negara, yakni Perhutani. Selama pengelolaan oleh Perhutani, telah terbukti bahwa kondisi hutan Jawa semakin hari semakin hancur. Belum lagi peminggiran terhadap petani-petani di Jawa yang tidak lagi memiliki lahan, sehingga mereka terpaksa harus hidup di kawasan dengan kemiringan yang sangat rawan terhadap bencana.
Potret kehancuran Jawa
Membaca peristiwa banjir yang kini menenggelamkan sebagian Pulau Jawa tidak lepas dari model dan pilihan pembangunan yang mulai dipraktekkan sejak zaman kolonialisasi, ketika Daendels membangun jalan sepanjang Anyer-Panarukan. Praktek industrialisasi yang disokong infrastruktur raksasa inilah yang kemudian menjadi landasan atau pijakan model pembangunan, yang berujung pada tata kuasa, tata penggunaan lahan, tata produksi, serta tata konsumsi yang menguntungkan segelintir elite kuasa politik dan modal.
Jared Diamond dalam teori collapse-nya mengatakan runtuh dan berkembangnya satu entitas dalam satuan lingkungan bukan ditentukan oleh kondisi geografik alaminya saja. Pilihan untuk bertahan atau collapse jatuh pada entitas manusia yang tinggal di dalamnya. Entitas pada konteks tertentu ditentukan oleh pilihan pemimpinnya. Tampaknya pemimpin entitas manusia Pulau Jawa memilih jalan menuju collapse dengan membiarkan bencana terjadi dengan intensitas yang meningkat dari tahun ke tahun. Bencana itu pun diatasi dengan cara yang terus-menerus sama, yakni pembangunan infrastruktur raksasa, mobilisasi bantuan secara serampangan, sambil terus menyalahkan alam.
Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup di Indonesia yang terjadi hingga hari ini semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan Pulau Jawa, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan. Biaya tersebut adalah kemiskinan struktural yang menghasilkan kerawanan pangan serta krisis air bersih dan energi yang menjadi kebutuhan dasar manusia.
Kerusakan hutan yang disebabkan oleh perubahan alih fungsi lahan telah mengubah fungsi lindung. Sementara itu, sedimentasi dan pencemaran air sungai serta pencemaran tanah oleh logam berat terus terjadi tanpa tertangani. Kenyataan ini semakin memicu Jawa bukan hanya berada di titik nadir kehancuran ekologis, tapi juga menuju kehancuran kehidupan (collapse).
Diamond mengingatkan bahwa kehancuran lingkungan pada peradaban manusia memicu konflik antarwarga yang sebetulnya bibitnya sudah ada. Kondisi krisis pun digunakan sebagai sarana politik menjatuhkan lawan dengan menyabotase tanggap darurat bencana. Dalam kondisi yang demikian, bukan hanya kondisi perubahan lingkungan yang menjadi ancaman, melainkan respons elemen-elemen negara dan politik yang tampak memilih jalan kehancuran yang jauh lebih mengancam.
Respons rakyat menghadapi krisis Jawa
Sebanyak 83 persen kawasan kepulauan Indonesia pada dasarnya rawan terhadap bencana dan 90 persen warga negara Indonesia terancam keselamatannya. Sering kali negara dan rakyat berada di ruang yang berbeda ketika terjadi bencana, meskipun ada Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Kita tidak bisa lagi banyak berharap dari negara, meskipun negara tetap harus dikuatkan untuk menjalankan fungsi dan perannya memberikan jaminan keselamatan, produktivitas, kesejahteraan, dan keberlanjutan pelayanan alam.
Dalam banyak laporan tampak jelas, warga di wilayah krisislah yang lebih cepat merespons situasi yang dihadapi sebagai bagian dari cara bertahan di tengah bencana dan seluruh kerepotan yang dihadapinya. Banyak catatan dan pengalaman yang bisa didapat selama terjadinya bencana, paling tidak rakyat sudah membangun inisiatifnya sendiri untuk bahu-membahu menghadapi krisis. Inilah yang dinamakan subsidi rakyat kepada negara, karena negara lamban merespons krisis rakyatnya..................
Membaca (Lagi) Krisis Pulau Jawa
Posted by khalisah khalid at 11:17 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment