Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
SBY kembali menebar janji menyelamatkan hutan Indonesia. Janji ini disampaikan dalam Konferensi Internasional Kehutanan Indonesia yang digelar Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) di Jakarta (Kompas, 28/9/2011).
Sejak menjabat, SBY antara lain berkomitmen dan berjanji mengurangi emisi karbon Indonesia 26 persen hingga tahun 2020. Untuk mendukung janjinya, SBY kemudian mengumumkan moratorium yang dituangkan dalam Inpres No 10/2011, tetapi banyak memberikan pengecualian pada industri ekstraktif. Kita tentu belum lupa, SBY menyatakan komitmennya untuk memberantas mafia hukum dan mafia penebangan liar.Semakin banyak berjanji seharusnya semakin keras upaya kita memenuhinya. Namun, pada Presiden SBY janji ternyata tidak lebih dari upaya pencitraan agar tampak peduli pada lingkungan dan hutan.
Tanaman industri
Dalam rentang waktu 10 tahun terakhir perkembangan perluasan hutan tanaman industri justru sangat pesat. Tahun 2000 luasan hutan tanaman industri adalah 4,44 juta hektar. Tahun 2011 luasannya mencapai 18,54 juta hektar (termasuk kawasan pencadangan). Hutan tanaman industri rata-rata dibangun di atas hutan produksi dengan tegakan kayu alam yang masih bagus.
Konflik ruang dalam kawasan hutan cukup tinggi. Berdasar data Sawit Watch, luasan kawasan sawit saat ini adalah 9,09 juta hektar dengan rencana ekspansi 26,71 juta hektar. Rencana ekspansi mencakup 3,02 juta hektar perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan dan 3,14 juta hektar dalam kawasan gambut. Di Kalimantan Tengah saja tercatat ratusan perusahaan perkebunan beroperasi tanpa izin dan mengalihfungsikan kawasan hutan seluas 3,7 juta hektar. Di Kalimantan Timur tercatat 200.000 hektar kawasan hutan dicaplok perkebunan kelapa sawit.
Sawit Watch mencatat, konversi hutan menjadi kawasan nonhutan penyumbang terbesar hilangnya keragaman hayati dan kerusakan hutan secara permanen. Luas kawasan perkebunan kelapa sawit meningkat 1,26 juta hektar, naik dari 7,82 juta hektar tahun 2009 menjadi 9,09 juta hektar tahun 2010. Data Walhi menunjukkan, luasan izin hutan tanaman industri meningkat menjadi 11,53 juta hektar yang akan mengganti hutan alam menjadi hutan monokultur.Permenhut P.62/2011 yang kemudian dibatalkan ataupun Permenhut 614/1999, hakikat dan tujuannya sama, yakni melindungi perbuatan melanggar hukum oleh beberapa kepala daerah dan pengusaha perkebunan besar kelapa sawit. Kementerian Kehutanan bahkan masih mencari celah untuk melegalkan sawit dalam kawasan hutan. Karena itu, sungguh mengherankan kalau Presiden SBY masih berani mengumbar janji yang sudah pasti akan digombalinya sendiri.
Terkait korupsi
Bagaimana dengan angka korupsi dan mafia yang menyeruak masuk sektor kehutanan? Janji SBY untuk memberantas mafia di sektor kehutanan juga tak lebih hanya isapan jempol. Buktinya sampai saat ini SBY tidak berani memerintahkan Polri mencabut surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus pembalakan liar di Riau.
Semua itu diperkuat dengan temuan investigasi yang dilakukan Walhi Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo. Hasil investigasi menunjukkan adanya modus korupsi dalam pengalihfungsian hutan untuk perkebunan sawit.Serbuan industri tambang yang masuk di hutan juga tidak kalah menyeramkan. Jangan lupa SBY juga mengeluarkan Perpres No 12/2011—hampir bersamaan dengan Inpres No 10/2011—untuk penambangan di bawah hutan lindung. Dengan realitasnya seperti ini, sudah pasti palsu semua janji SBY.
Lalu bagaimana dengan nasib hutan dan lingkungan yang sudah kadung hancur, disertai ancaman bencana ekologis yang terus membuntuti generasi sekarang dan mendatang?Presiden SBY seperti syair lagu saja. ”Kau yang berjanji, kau juga yang mengingkari....”
(sumber: kompas, senin 3 oktober 2011).
Hutan dan Janji Gombal Penguasa
Posted by khalisah khalid at 3:50 PM 0 comments
Saya, 99% Perempuan yang Melawan
11 tahun, kurang lebih saya bergelut dengan dunia gerakan lingkungan di Indonesia. Dalam pergulatan proses yang panjang, rasanya saya hampir memahami akar persoalan kehancuran lingkungan dan krisis yang dialami oleh rakyat. Dimana segelintir orang dan kelompok menguasai dan secara rakus merampok kekayaan alam sebagian besar rakyat yang hidupnya bergantung pada kekayaan alam. hampir setiap hari, penanganan kasus bahkan hampir membuat air mata kering karena acap kali kita bisa menyaksikan bagaimana rakyat 99% yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya,
harus berdarah-darah dan meregang nyawa.
kini, setelah 11 tahun saya hadir disini untuk menyatakan bahwa saya bagian dari 99% rakyat yang kini berjuang dan melawan, bukan hanya karena saya tau siapa biang kerok dari kemiskinan dan krisis yang dialami oleh sebagian besar penduduk bumi. lebih dari itu, saya hadir untuk meneriakkan suara perempuan, suara ibu yang gelisah dan takut dengan masa depan anak-anaknya di negeri yang elitnya culas dan korup.
Sejak menjadi ibu, saya berusaha membangkitkan harapan hidup yang optimistis untuk putri saya yang kini berumur 9 bulan, menatap dan menjalani masa depannya. tapi entah mengapa, justru semakin hari, saya semakin takut menatap masa depan anak saya.
saat di jalan-jalan,menemukan anak-anak diperdagangkan dan hidupnya setiap detik terancam dengan eksploitasi apapun oleh orang-orang dewasa, dan negara gagal melindungi hak-hak anak tersebut. setiap hari,anak-anak terancam dengan berbagai racun yang dihidangkan lewat jajanan yang tidak sehat.tapi sialnya, yang disasar oleh bidikan media massa hanya pedagang-pedagang kecil, padahal junk food tumbuh subur dengan iklan yang semakin meracuni anak-anak dan lagi-lagi negara membiarkannya. Sementara kita tahu, bagaimana mahalnya biaya kesehatan. orang tua yang tidak memiliki uang, jangan sekali-kali berani mengobati adanya ke RS, jika tak punya uang untuk membayar DP.
setiap hari, anak-anak dipertontonkan dengan berbagai praktek kekerasan baik yang dilakukan oleh negara, pemilik modal dan bahkan oleh orang-orang didekatnya.kekerasan seperti spiral yang saling menyambung dan sulit untuk diputuskan. Terutama anak-anak yang hidup di wilayah konflik, sungguh saya tak sanggup membayangkan anak-anak seusia Jingga sudah harus ditinggalkan orang tuanya.
Pendidikan yang sejatinya dapat membuat anak-anak cerdas sebagaimana yang tertuang dalam amanah Konstitusi, juga dikeredilkan tujuannya. sistem pendidikan di negeri ini keberhasilannya diukur dengan angka-angka kelulusan UN. sungguh saya tidak tega, anak-anak TK dan kelas 1 SD, sudah harus menjinjing tas yang begitu berat, hanya untuk menyasar nilai kelulusan. haknya untuk bermain, dikerangkeng oleh angka-angka yang diciptakan oleh sistem pendidikan yang manipulatif dan membodohkan. membuat anak tidak dapat berpikir kritis, dan begitulah 1% penguasa dunia ini menghendaki, agar generasi mendatang hilang kekritisannya.
Saya sangat mengerti, setiap ibu dan orang tua dimanapun ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. tapi sialnya, anak-anak ini hidup dalam dunia yang sudah disabotase oleh 1% pemodal yang rakus dan elit penguasa yang kejahatannya berselubung atas nama rakyat. Sehingga untuk mendapatkan yang terbaik itu, kita harus membarternya dengan nominal uang yang nilainya juga ditentukan oleh 1% orang yang menguasai sektor finansial dan Perbank-kan. Perempuan banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan sial-sial berkali lipat, sudah bekerja sedemikian keras, dengan upah yang tidak sebanding dengan peluh keringatnya, konstruksi sosial sering "menghukumnya" dengan berbagai label negatif yang dilekatkan kepada dirinya sebagai perempuan dan ibu. "ibu yang tidak peduli dengan anak dan keluarga", istri yang tidak taat pada suami", "perempuan yang lupa kodratnya" dan rentetan kata-kata lainnya.
bahkan, sudah berjibaku pula 99% perempuan melawan 1% pemodal dan elit yang menghegemoni, dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan, kami masih dihadapkan dengan dunia sosial yang tak adil. perempuan masih distempel sebagai warga negara ke-2, pelengkap dan menjadi sasaran empuk dari ekspansi modal. tubuhnya dihargai murah dengan menjadi buruh dengan harga yang murah dan lebih kecil dari laki-laki dan, bahkan sering kali tidak dihargai. tubuh perempuan disasar pula sebagai "pasar" bagi pemodal, terutama industri kecantikan.
aaaaa,nampaknya tak cukup dengan kata-kata untuk ingin mengatakan bahwa saya mau menjadi bagian dari 99% perempuan yang melawan, saya mau menjadi bagian dari 99% ibu yang berjuang, dan saya mau menjadi bagian dari 99% rakyat yang tak mau tunduk pada kekuatan 1% di dunia yang jelas-jelas telah gagal membawa dunia ini pada kebaikan bagi seluruh semesta.
Posted by khalisah khalid at 2:50 PM 0 comments
Moratorium, Masih di Langit!
Moratorium kini jadi kata yang sering diperbincangkan: mulai dari jeda tebang hutan, jeda tambang, hingga jeda pengiriman TKI ke luar negeri. Bahkan, moratorium tebang hutan yang dulu seperti sebuah kemustahilan kini jadi keniscayaan.
Setidaknya, Pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Norwegia terkait pemanfaatan hutan primer dan lahan gambut. Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan instruksi lewat Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Apakah ini angin baik setelah 10 tahun lebih dimimpikan oleh gerakan lingkungan? Sekilas iya, terutama jika melihat Inpres No 10/2011 dari kulit luarnya. SBY berkomitmen menghentikan izin baru hutan dengan jualan penurunan emisi hingga 41 persen.
Mari kita bicara mimpi moratorium hutan yang benar. Sebuah cita-cita untuk membenahi pengelolaan hutan yang karut- marut dan melahirkan berbagai kerentanan dan konflik kehutanan yang tak berkesudahan, yakni dengan melakukan jeda tebang setidaknya dalam kurun 15 tahun. Kurun waktu ini dianggap cukup untuk membenahi kerumitan pengelolaan hutan dan izin pengelolaan hutan yang tumpang tindih, yang menyebabkan rakyat semakin miskin dan bencana lingkungan.
Dalam mimpi gerakan lingkungan, moratorium hutan sekaligus untuk memberikan ruang bagi negara memfasilitasi rakyat dalam membangun ruang-ruang produktifnya. Kita tahu bahwa selama ini berbagai konflik di sektor kehutanan salah satunya disebabkan tidak dibukanya akses dan kontrol rakyat terhadap pengelolaan hutan.
Akan tetapi, waktu dua tahun yang ditetapkan untuk moratorium pemberian izin baru di hutan primer dan gambut—sebagaimana tertuang dalam Inpres No 10/2011—tentu perlu dikritisi. Apakah dalam waktu dua tahun dapat menyelesaikan berbagai problem kehutanan yang sudah menggurita? Belum lagi ditambah praktik mafia di sektor kehutanan yang begitu kuat memengaruhi kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah?
Inpres No 10/2011 melakukan pembiaran terhadap pemodal karena izin sudah diberikan di kawasan berhutan, tanpa ada penundaan izin, termasuk evaluasi izin. Inpres ini hanya penundaan izin terhadap izin baru. Faktanya, di Kalimantan Timur, misalnya, selain hutan lindung dan kawasan konservasi, seluruh kawasan hutan telah dibebani izin. Ini berarti memang tak akan ada izin baru, tetapi yang ada adalah jual-beli izin.
Pelanggengan kekuasaan
Dengan kondisi kerusakan hutan yang begitu masif, sepanjang 2006-2007 saja deforestasi mencapai 2,07 hektar dan memusnahkan sekitar 5,17 miliar pohon berdiameter beragam, maka penundaan pemberian izin baru selama dua tahun tak lebih hanya wacana untuk melanggengkan kekuasaan, baik secara ekonomi maupun politik.
Jika melihat dari waktu penetapan Inpres No 10/2011, moratorium tampaknya akan jadi momentum dan dasar dari revitalisasi industri untuk mendorong optimalisasi, efisiensi, dan kompetensi industri kehutanan dan perkebunan.
Meskipun ada di luar, para pemodal berkonsolidasi. Mereka seperti kebakaran jenggot dan menuding isu moratorium yang didesak oleh organisasi lingkungan untuk kepentingan asing dan bertujuan menghambat majunya perekonomian nasional. Sebuah klaim yang tidak mendasar karena, kenyataannya, struktur ekonomi-politik neoliberal telah menyebabkan ketimpangan dalam kepemilikan alat-alat produksi nasional saat ini. Dominasi modal asing telah sangat besar menguasai seluruh sektor ekonomi, khususnya sumber daya alam. Nasionalisme hanya bersifat simbolisme karena unit-unit yang menjalankan ekonomi negara sesungguhnya tidak ada.
Jangan lupa, selain Inpres No 10/2011, SBY juga mengeluarkan Perpres No 12/2011—yang dikeluarkan hampir bersamaan—untuk penambangan di bawah hutan lindung. Jika realitasnya seperti ini, omong kosong jika kemudian moratorium akan menjawab krisis lingkungan dan dapat menyelamatkan hutan yang masih tersisa, apalagi memulihkan kondisi kerusakan hutan.
Melihat dari waktu moratorium yang hanya dua tahun dan adanya Perpres No 12/2011, tampaknya ini tidak lebih hanya sebuah cara bertransaksi dengan mendompleng isu lingkungan. Mengingat tahun 2013 akan ada persiapan Pemilu 2014, artinya akan ada ekstraksi besar-besaran pada 2013 atau menjelang 2014.
Sejak SBY mengumumkan moratorium, hingga mengeluarkan instruksinya dalam bentuk Inpres No 10/2011, faktanya moratorium yang dicita-citakan oleh gerakan lingkungan masih berada di langit. Dalam situasi seperti ini, lagi-lagi rakyat yang harus memilih jalannya sendiri untuk menyelesaikan berbagai krisis yang terjadi di tengah pengurus negara yang abai. oleh : Khalisah Khalid ,Dewan Nasional Walhi
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/06/20/0238301/moratorium.masih.di.langit
Posted by khalisah khalid at 12:51 PM 0 comments
Serdadu dan Konflik Sumber Daya Alam
Oleh: Khalisah Khalid
Pengantar
Salah satu penyebab dari konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia adalah ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria dan SDA yang selalu dikuasai oleh elit baik di masa kerajaan, penjajahan, hingga paska reformasi saat ini.
Pada abad ke-19, raja Mataram telah menyerahkan kekuasaannya atas sebagian wilayah pulau Jawa kepada VOC, maka hutan-hutan di pulaiu Jawa menjadi hak milik VOC atau raja Mataram. Hal ini antara lain dapat disimpulkan berdasarkan plakat 8 September 1803 yang pada pokoknya menyatakan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa). Tidak seorangpun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan.
Paska kemerdekaan, pemerintah berupaya melakukan penataan ulang atas sumber-sumber agrarian dengan mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 adalah suatu produk perundang-undangan yang dibuat untuk mengubah karakter negara kolonial menuju negara nasional yang merdeka, serta untuk menghapuskan segala bentuk sisa-sisa feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat. Para pembuat UUPA bermaksud untuk membawa rakyat ke arah keadilan sosial, kemakmuran dan kemajuan melalui penataan ulang penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
Sayangnya, sebelum UUPA dilaksanakan, Indonesia mengalami pergolakan politik yang panas dengan meletusnya peristiwa 30 September 1965 yang diwarnai berbagai bentuk kekerasan dimana militer menjadi bagian dari cerita ini. Ada beberapa pihak yang menilai bahwa peristiwa 30 september tidak bisa dilepaskan dari actor-aktor eksternal salah satunya intervensi asing yang memiliki kepentingan ekonomi. Ini ditandai dengan keluarnya UU Penanaman Modal Asing dua tahun paska peristiwa 30 September 1965.
Meskipun dalam catatan sejarah kolonialisasi di Indonesia kita dapat membaca bahwa penggunaan kekuatan militer telah terjadi untuk membackup penjarahan sumber daya alam, faktanya kini penggunaan militer (isme) tetap digunakan. Tulisan ini ingin melihat sejauhmana peran atau keterlibatan militer (TNI/POLRI) dan watak militeristik yang dilakukan oleh organ sipil dalam setiap konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Tulisan ini juga hendak melihat bagaimana situasi dan kondisi perempuan dalam menghadapi militer(isme) dalam setiap konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup yang selama ini masih minim menjadi perhatian banyak pihak baik institusi negara maupun gerakan masyarakat sipil.
Pengaman Modal
Konflik agraria dan sumber daya alam selalu bermula dari adanya ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria dan SDA yang selalu dikuasai oleh elit baik di masa kerajaan, penjajahan, hingga paska reformasi saat ini.
Hak menguasai negara (HMN) yang terdapat dalam pasal 33 UUD 1945 ditafsirkan berbeda oleh orde baru dengan “semuanya milik negara” hingga penguasaan kolektif masyarakat adatpun dianggap tidak ada. Orde baru membagi-bagi sumber-sumber agraria kepada kelompok-kelompok yang dikehendaki dapat mendukung kekuasannya, utamanya kepada pemilik modal asing. Kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan dari pasal 33 tersebut, tidak pernah dihitung. Jangankan kesejahteraan, justru rakyat sering kali dihadapkan sebagai “musuh” negara ketika mempertanyakan hak-haknya.
Dalam praktek semasa Orde Baru, kedudukan Negara yang dominan dalam perundang-undangan, terbukti telah dimanfaatkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan produktivitas tanpa memberi rakyat peran untuk berpartisipasi dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu serta untuk menikmati hasilnya. Undang-Undang dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, justru menjadi alat legitimasi bagi negara untuk menjual sumber daya alamnya, tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada ketamakan dan kekerasan. Di masa orde baru, kekerasan dan korupsi menjadi pintu masuk dalam setiap investasi di Indonesia.
Karena semua cabang-cabang produksi dianggap milik negara, maka negara menggunakan seluruh perangkat dan kekuatannya untuk mengamankan investasi dan pembangunan, dengan jargon stabilitas ekonomi dan keamanan nasional yakni aparat keamanan yang terdiri dari TNI dan Kepolisian. Aparat keamanan baik TNI maupun Kepolisian digunakan oleh pemerintah dan atau pemilik untuk menggusur, merebut lahan masyarakat pada saat eksplorasi dan eksploitasi akan dimulai.
Di beberapa kasus, aparat keamanan terlibat dalam proses pembebasan lahan masyarakat agar masyarakat mau menjual tanahnya dengan harga yang sangat rendah. Jika tidak mau menjual tanah dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah dan korporasi, tidak segan-segan aparat keamanan melakukan ancaman untuk mengintimidasi warga. seperti yang dialami dalam kasus antara masyarakat dengan PT. Adaro dimana yang melibatkan aparat militer didalam proses ganti rugi lahan warga yang telah ditanami pohon karet. Pola ganti rugi yang melibatkan militer membuat warga tidak berdaya dan akhirnya menyerahkan tanah mereka diganti rugi dengan harga yang sangat rendah. Kepentingan umum, kepentingan pembangunan, kepentingan nasional selalu menjadi alasan pembenar bagi negara untuk “merampas” tanah warga. Kepres No, 55 tahun 1993 atau kini Perpres 65/ tahun 200 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum menjadi senjata sakti untuk memaksa warga melepas tanahnya dengan harga yang murah.
Aparat keamanan juga dipasang untuk menghadapi berbagai tindakan “perlawanan” yang dilakukan oleh masyarakat terhadap industry atau investasi di wilayah mereka, sehingga yang justru acap kali berhadapan adalah rakyat dengan aparat keamanan. Rakyat yang kritis atau menolak industry masuk di wilayahnya, akan dikelompokkan sebagai pihak yang melawan kebijakan negara. Aksi-aksi unjuk rasa dihadapi dengan penangkapan, penembakan, kriminalisasi dan intimidasi.
Kondisi inilah yang menyebabkan konflik agraria dan sumber daya alam antara korporasi yang ditopang oleh institusi negara dengan rakyat terus meningkat dari hari ke hari, dan bahkan di beberapa wilayah stabilitas keamanan bagi investasi menjadi legitimasi bagi aparat keamanan untuk melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani, nelayan dan kelompok rakyat yang selama ini memperjuangkan hak-hak atas sumber kehidupannya.
Bisnis dan Tali Temali Pelanggaran HAM
Selain menempatkan aparat keamanan sebagai “penjaga” modal dan kebijakan negara, ada peran atau keterlibatan lain yang dinilai berkontribusi besar bagi langgengnya praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam. Apalagi kalau bukan bisnis yang berada dibalik berputarnya roda investasi sumber daya alam, baik yang dilakukan secara institusional maupun non institusional.
Di masa orde baru, militer “dikaryakan” sosial, ekonomi dan politik sebagai pilar penjaga kestabilan pembangunan. Militer tidak hanya dikaryakan oleh pemerintah, tetapi juga pemilik modal. Praktek bisnis militer tidak hanya terjadi pada sector pengamanan modal tapi juga ikut aktif ikut serta sebagai pelaksana bisnis. Segala fasilitas, asset militer (tanah milik negara yang diperuntukkan bagi tiap angkatan) dijadikan modal dan infrastruktur pendukung bisnis.
Intensitas militer terlibat dalam konflik agraria erat kaitannya dengan aktivitas bisnis militer di lapangan agraria. Dimulai ketika militer ikut terlibat mengurus perkebunan ex Belanda yang di nasionalisasi. Jendral AH.Nasution sebagai kepala angkatan perang RI memerintahkan wakil direktur perkebunan dijabat oleh Tentara yang ditunjuk olehnya. Sejak saat itulah militer, terutama angkatan darat terlibat aktif mengelola perkebunan dan pertambangan.
Langgengnya bisnis militer di lapangan agraria seolah menjadi kesepakatan tak tertulis antar petinggi militer dan pimpinan nasional. Ketidaksanggupan negara membiayai anggaran militer menjadi legitimasi serdadu berkebun sawit, yayasan milik ABRI berbisnis tambang, dan kaum berseragam coklat menjadi raja hutan. (Danang Widyoko,dkk).
Nampaknya, inilah yang melanggengkan praktek pelanggaran hak asasi manusia dalam cerita pengelolaan agrarian dan sumber daya alam. Dimana bisnis militer saling terkait erat dengan watak dan praktek kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan mengatasnamakan pembangunan (baca: modal) dan stabilitas keamanan negara dimana ladang-ladang investasi dianggap sebagai objek-objek vital nasional yang harus diamankan oleh aparat keamanan bahkan dengan dalih operasi militer. bisnis angkatan dan penggunaan asset militer untuk bisnis baik yang legal maupun illegal.
Setidaknya ada Sampai dengan tahun 2003 misalnya, tercatat nama 16 perusahaan yang termasuk dalam kategori objek vital dan mendapat pengamanan aparat TNI. Ke 16 perusahaan tersebut adalah PT Arun LNG, PT Exxonmobil Oil, PLTA Sigura-gura, PT Inalum, PT Caltex Dumai, Kilang minyak Plaju dan Gerong, PLTU Suralaya, PT Dirgantara Indonesia, Kilang Minyak Cilacap, PLTU Paiton, PLTU Petrokimia Gresik, PT Badak LNG Bontang, PT Vico Muara Badak, Unocal Sangata dan PT UP V Pertamina Balikpapan, PT Nikel Soroako, PT Freeport Tembagapura, dan PT Puspitek Serpong.
TNI membangun 100-150 pos-pos militer disekitar perusahaan yang rata-rata dijaga oleh 25-50 personil. Per-hari, diperkirakan Exxonmobil menghabiskan dana sekitar Rp 33,75 juta sampai dengan Rp. 127,5 juta. Artinya, dalam setahun militer bisa mendapatkan uang jasa sekitar Rp 12,15 milyar sampai dengan Rp 45,9 miliyar. Bayangkan, begitu besarnya bisnis militer di bidang pengamanan korporasi yang berkedok objek vital negara.
Sebuah laporan yang diterbitkan Global Witness menyebutkan TNI sepanjang tahun 2001-2003 telah menerima uang keamanan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., perusahaan pertambangan yang berbasis di New Orleans, AS untuk jasa pengamanan pertambangan mereka di Papua. Belum termasuk pengeluaran bagi pejabat militer seperti kepada Mayor Jenderal Mahidin Simbolon selaku Panglima Kodam VIII Trikora.
Kucuran dana tersebut selain melanggar hukum Indonesia, juga menimbulkan pertanyaan besar atas independensi TNI dan kepolisian dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara. Apalagi, ketika juga diakui oleh petinggi militer bahwa pasukan TNI digaji langsung oleh korporasi transnasional tersebut.
Tidak segan-segan, cap separatis, pemberontak dan label-label negative lainnya dilekatkan kepada masyarakat yang dianggap mengganggu kepentingan korporasi dan negara, dengan demikian, operasi militer menjadi legal untuk dilakukan seperti yang terjadi di Papua dan Aceh. Ini menjadi praktek nyata, bahwa operasi militer dimanapun, motif utamanya adalah kepentingan ekonomi.
Hal yang sama terjadi di Poso Sulawesi Tengah, konflik yang terjadi disana, diindikasikan kuat tidak lepas dari kepentingan ekspansi modal, Dimana Sejak pertengahan 1990-an, PT Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, sudah bernafsu mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000. Tahun 1998, menjelang pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto, korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mengantongi kontrak karya untuk menambang emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, di mana sebagian besar arealnya termasuk wilayah Kabupaten Poso. Masih banyak lagi modal yang masuk dan mendompleng dengan konflik berdarahnya, dan akhirnya berbagai kasus perampasan tanah terhadap petani beralih isunya menjadi konflik antar etnis dan agama.
Aparat militer juga bermain dengan bisnis pembacking-an kegiatan tambang illegal misalnya sebuah perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan yang melibatkan sebuah koperasi militer untuk menyediakan keamanan guna memperlancar kegiatannya dengan para penambang illegal di area konsesi tersebut. Misalnya kegiatan pengamanan para penambang illegal di Pongkor Jawa Barat. TNI diduga menjadi backing para penambang liar.
Bisnis militer di wilayah operasi pertambangan Trans-Nasional khususnya tambang emas, minyak, gas dan nikel yang mendapatkan Kontrak Karya dari pemerintah Indonesia untuk membangun imperiumnya sendiri dan seperti ada negara didalam negara, seperti mendapatkan keistimewaan lebih melalui private business yang dijalankan oleh militer. Industry tambang Berbeda dengan tambang batubara dan perkebunan yang kebanyakan dijaga oleh aparat kepolisian, yang tidak “serapih” bisnis militer.
Asset “Warisan” Penjajah
Selain terkait dengan bisnis militer, konflik antara masyarakat dengan aparat keamanan khususnya dengan TNI juga terkait dengan asset warisan penjajah (baik Belanda maupun Jepang) yang dianggap semua tanah yang dulunya dikuasai oleh tentara Belanda dan Jepang secara langsung menjadi milik negara (TNI). Inila yang kemudian banyak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan TNI, karena kebanyakan tanah yang diklaim milik mereka, dulunya merupakan tanah rakyat yang direbut paksa oleh penjajah.
Kasus yang bisa merepresentasikan modus ini antara lain konflik TNI AL dengan masyarakat Alas Tlogo telah ada sejak tahun 1965. Lahan yang ditempati oleh masyarakat untuk tinggal dan berkebun diklaim sebagai asset TNI AL. demi mengusir masyarakat dari tanahnya, TNI melakukan berbagai upaya intimidasi dan puncaknya pada tahun 2007, terjadi penembakan yang menwaskan 5 orang meninggal dunia dan 6 orang mengalami luka-luka. Dalam hasil investigasi yang dilakukan oleh KontraS bahwa ditemukan fakta bahwa motif pengosongan lahan bukan hanya sekedar untuk lahan pelatihan tempur semata, tetapi ditemukan adanya penyewaan lahan kepada PT. Rajawali plus pengamanan terhadap penyewa.
Selain kasus Alas Tlogo di Jawa Timur, Hal yang sama terjadi untuk kasus Rumpin antara masyarakat rumpin dengan TNI AU Atang Sandjaya, selain klaim kepemlikan lahan yang diwariskan oleh “penjajah”, ditemukan ada indikasi bisnis tambang pasir diatas lahan tersebut.
Ada juga kasus di Bojong Kemang Kabupaten Bogor, bahwa tanah yang ditempati oleh warga diklaim milik TNI AU, bahwa pada tahun 1940-1945, tanah masyarakat disewa oleh angkatan udara jepang untuk kepentingan menyembunyikan pesawat tempur mereka. Setelah Jepang mengalami kekalahan, TNI kemudian mengklaim bahwa tanah tersebut milik mereka yang merupakan tanah “hasil rampasan perang” atau tanah warisan penjajah.
Meskipun belakangan juga terungkap, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh militer ternyata juga terkait dengan kegandrungan tentara berbisnis, misalnya dengan menyewakan tanah-tanahnya kepada perusahaan.
Militerisme Terus Berlanjut
Dalam perjalanannya, era reformasi mendesak agar militer segera kembali ke barak dan meninggalkan bisnis-bisnisnya. Sayangnya, desakan tersebut sampai saat ini masih jauh dari harapan. Militer dan kepolisian sampai saat ini masih menjadi anjing penjaga modal yang sangat baik. Faktanya, sampai saat ini, praktek kekerasan dan pelanggaran HAM masih kental mewarnai konflik sumber daya alam di Indonesia. Sebagian merupakan kasus-kasus lama yang tidak kunjung selesai dan semakin manifes, sebagian lagi merupakan kasus-kasus baru dengan menggunakan pola-pola dan pendekatan yang sama.
Setidaknya sejak jaman kolonial hingga saat ini, pelanggaran hak asasi manusia selalu berdampingan dengan ekspansi modal, dengan menggunakan seluruh kekuatannya termasuk kekuatan bersenjata dengan aktornya yang berubah-ubah. Misalnya, di beberapa kasus, kekerasan justru dilakukan oleh sipil seperti Polisi Kehutanan yang mengamankan konsesi tanah Perhutani, Satpol PP dan Pamswakarsa. Namun jika dilihat, sipil ini menggunakan pendekatan dan pola yang sama yakni militeristik dan tidak jauh dari induknya yakni militer dan kesemuanya dipersenjatai. Untuk kekerasan yang dilakukan oleh sipil seperti Pamswakarsa yang sering kali dibiayai oleh perusahaan, biasanya justru aparat keamanan melakukan pembiaran terhadap tindakan kekerasan tersebut.
Industry ekstraktif baik tambang maupun perkebunan sawit skala besar merupakan industry yang kotor, penuh dengan praktek kekerasan dan sarat dengan pelanggaran HAM baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, social dan budaya, khususnya bagi rakyat yang hidup di lingkar area tambang dan perkebunan besar. Di berbagai wilayah operasi pertambangan dan perkebunan, keterlibatan aparat keamanan baik TNI maupun Kepolisian dalam mengamankan korporasi sangat kental. Konflik yang sering muncul antara korporasi dan masyarakat setempat, selalu menempatkan masyarakat sebagai korban.
Disinilah kita dapat mengurai tali temali antara peran militer yang menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) dan pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan akan digunakan oleh negara dengan mengerahkan semua kekuatannya termasuk militer dan aparat keamanan lainnya atau aparat keamanan justru membiarkan praktek kekerasan dilakukan oleh sipil yang berupa preman-preman bayaran, pamswakarsa atau milisi-milisi ketika berhadapan dengan warga. Inilah kerja kolaboratif yang sangat baik antara pemodal dengan negara (plus aparat keamanannya) untuk melanggengkan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik.
Perempuan dan Militer(isme)
Peran perempuan dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupan antara lain terlibat langsung dalam barisan massa aksi seperti ibu-ibu Sugapa memeluk pohon yang akan dirobohkan oleh PT. IIU di Porsea Sumatera Utara, ibu-ibu di Bojong Jawa Barat yang melakukan penghadangan mesin-mesin perusahaan yang akan masuk, dan bersama laki-laki melakukan reclaiming terhadap tanah-tanah yang diambil oleh perusahaan seperti yang dilakukan oleh ibu Werima yang berhadapan dengan PT. INCO di Sulawesi Selatan.
Ironisnya, peran dan perjuangan perempuan bersama komunitasnya untuk mendapakan hak-hak dasarnya harus berhadapan dengan berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Seorang petani kelapa sawit perempuan bernama ibu Yuniar tewas ditembak oleh satuan Brimob ketika memperjuangkan haknya atas ketidakadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit PT. Tribakti Sari Mas di Kuansing Riau baru-baru ini.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam berbagai kasus terkait dengan konflik agraria, sumber daya alam dan perjuangan lingkungan hidup, bukanlah cerita baru. Dalam catatan WALHI, berbagai kekerasan yang dialami oleh perempuan dan komunitasnya, mulai dari kasus PT. Freeport Indonesia dimana mama Yosepha pernah mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, kekerasan yang dialami oleh opung Risma ketika berhadapan dengan aparat kepolisian dalam kasus dengan PT. Inti Indorayon Utama atau PT. Toba Pulp Lestari, ibu Nursiha yang ditangkap oleh aparat Kepolisian ketika berhadapan dengan perusahaan sawit. Selain kekerasan yang dialaminya sendiri, banyak perempuan yang harus kehilangan suami, ayah dan anak laki-lakinya ketika berhadapan dengan aparat kamanan negara.
Sebagian besar kita sempat berpikir bahwa saat melakukan aksi ketika terjadi konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup, perempuan berada di barisan terdepan akan membuat aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan. Ternyata apa yang terjadi tidaklah demikian, tanpa memandang siapa yang dihadapinya, termasuk ibu-ibu dan dihadapan anak-anak, tindak kekerasan dilakukan oleh alat negara seperti dalam kasus Indorayon ketika memblokir jalan atau kasus Rumpin yang berhadapan dengan TNI Angkatan Udara, saat ibu-ibu berada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan ibu-ibu. Tanpa ada aba-aba atau peringatan, pasukan TNI AU langsung mendorong ibu-ibu hingga terjatuh, dan berujung pada penembakan terhadap massa aksi. Dalam kasus ini, selain satu orang tertembak di bagian leher, 1 (satu) orang remaja putri terkena tendangan sepatu di rusuk sebelah kanan.
Dalam kasus Bojong, saat melakukan sweeping dari rumah ke rumah, beberapa orang ibu dipukul oleh aparat dari Polwil dan Polres Bogor, bahkan ada ibu hamil yang didorong dan ditodongkan senjata dari belakang.
Bahkan di Ibukota, cerita kekerasan seperti banyak terjadi di pelosok-pelosok desa juga secara brutal dilakukan. Dalam kasus penggusuran pasar Barito, ibu-ibu yang melakukan aksi damai dengan membawa bunga, mesti merasakan sepatu Satpol PP. Kurang lebih 15 orang perempuan yang berada di barisan diinjak-injak, dan beberapa orang lainnya mengalami luka-luka.
Berbagai bentuk ketidakadilan telah dialami oleh perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, akibat peran, posisi dan relasi gender yang dilekatkan pada perempuan yang disebutkan sebagai kekerasan berbasis gender dalam pengelolaan sumber daya alam. Kekerasan yang dialami akibat praktek kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI/POLRI), seterusnya melahirkan bentuk kekerasan lain yang disebabkan karena peran, posisi dan relasi gender yang dilekatkan pada perempuan. Beban ganda bagi perempuan yang kehilangan suami, ayah atau anak laki-lakinya terpaksa harus mengambil peran sebagai pencari nafkah keluarga, sementara dia masih harus mengurus peran-peran domestiknya.
Sayangnya, meskipun begitu berat resiko yang dihadapi oleh perempuan dan begitu besar peran yang telah dilakukan oleh perempuan bersama komunitasnya dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupannya. Masih sedikit perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM dalam konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Padahal, perempuan pembela HAM harus menghadapi berbagai ancaman dan bentuk pelanggaran. Mulai dari yang umum dihadapi antara lain pembunuhan, dan resiko kehilangan nyawa, penyiksaan, penganiayaan, pengrusakan property, kriminalisasi, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, intimidasi, penghancuran sumber-sumber penghidupan, pembunuhan karakter dan stigmatisasi. Selain ancaman dan pelanggaran yang akan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan, ancaman dan pelanggaran yang khusus dialami oleh perempuan antara lain perkosaan dan pelecehan seksual dan serangan pada posisi dan peran ibu, istri dan anak perempuan.
Dalam kasus penangkapan yang dialami oleh ibu Nursiha, selain hak-hak dasarnya yang dilanggar, ibu Nursiha juga terpaksa tidak menjalankan fungsi dan perannya sebagai ibu yang menyusui bayinya yang baru lahir dan tiga orang anak lainnya.
Disinilah kita dapat menilai bagaimana peran militer(isme) dalam pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan khususnya hak asasi perempuan.
Penutup
Tidak ada yang berubah dari dulu hingga saat ini, dari jaman kolonial hingga paska reformasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan agrarian di Indonesia, menggunakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai pintu masuk untuk menguasai sumber daya alam dan agraria. Aktornya bisa mengalami perubahan, tapi korbannya tetap sama yakni rakyat yang seolah tak berwajah dan tak bernama. Dan perempuan menjadi korban yang mengalami renteng kekerasan berlanjut dan berlapis-lapis dari seluruh cerita yang bernama penjarahan sumber daya alam dan agraria.
Namun dari kesemuanya, yang diuntungkan dari watak pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif dan berwatak militeristik ini juga sama yakni segelintir orang baik pemodal, elit politik dan tentu saja alit dari aparat keamanan mulai dari TNI hingga elit di Kepolisian yang kesemuanya saling mengikatkan diri menjadi dan bertali temali dengan kepentingan masing-masing, baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan politiknya.
-----------------------------------------------
Tulisan ini telah disampaikan kepada Komnas Perempuan pada tanggal 26 Jnauari 2011 dalam kerangka penulian Pemetaan keterlibatan militer (ism) dalam konflik SDA
Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Analisa Hukum Kolonial di Tanah Merdeka, Hedar Laudjeng, http://www.huma.or.id/
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999.
Gali-Gali Jatam, Volume 3 Nomor 13, 2001
http://bhotghel.multiply.com/journal/item/19/KONFLIK_AGRARIA_DAN_BISNIS_MILITER
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/12/utama/684570.htm, dikutip dari Pelanggaran HAM; Warisan (Maut) Keterlibatan Militer dalam Bisnis, Mufti Makarim.
ibid
Siaran Pers Bersama, KONTRAS, IMPARSIAL, JATAM, MPI, WALHI, ELSAM, AMAN, ALIANSI PEREMPUAN MENGGUGAT, ICW, YAPPIKA, LSPP, YLBHI, akarta, 19 Maret 2003
http://ariantosangaji.blogspot.com/2010/08/kekerasan-poso-dan-ekspansi-modal.html
M. Islah,
Kronologi kasus Bojong dan Rumpin, WALHI.
Perempuan Pembela HAM, Komnas Perempuan
Posted by khalisah khalid at 11:33 AM 2 comments
ASEAN Gagal Bertanggung Jawab dalam Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi Hak-Hak Perempuan.
Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Pada tanggal 7-8 Mei 2011, pemimpin negara-negara ASEAN bertemu ASEAN Summit ke-18 di Jakarta, Indonesia. Sebelumnya, pada tanggal 3-5 Mei 2011, lebih dari 1300 delegasi masyarakat sipil dari 10 negara Asia Tenggara terlibat di dalam ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People Forum 2011 di Jakarta. ACSC/APF adalah ruang untuk memperdebatkan dan mengkritisi berbagai kebijakan ekonomi politik ASEAN yang bertumpu pada pasar, mengabaikan prinsip hak asasi yang berdampak langsung pada hidup dan kehidupan buruh migran perempuan, nelayan, petani perempuan, perempuan adat dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Secara spesifik, berbagai elemen gerakan perempuan di Asia Tenggara, termasuk Solidaritas Perempuan dari 10 daerah di Indonesia – terlibat aktif dalam mengkritisi berbagai kebijakan ASEAN. Kritik Solidaritas Perempuan (SP) berbasiskan pada pengalaman-pengalaman perempuan akar rumput yang mengalami ketidakadilan dan penindasan berlapis akibat peran gender sebagai perempuan, warga negara, buruh migran perempuan, perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan dalam konflik bersenjata dan konflik sumber daya alam, perempuan yang hidup di dalam hukum syariah, serta kelompok perempuan lainnya yang mengalami penindasan akibat identitas politik, seksualitas dan kepercayaan tertentu.
Solidaritas Perempuan menilai negara-negara ASEAN telah gagal dalam memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan Asia Tenggara dan Indonesia, pada khususnya. Kegagalan tersebut tercermin dalam beberapa pandangan Solidaritas Perempuan di bawah ini.
Regionalisasi Politik Ekonomi Pro-Pasar
Negara-negara ASEAN secara terbuka melayani kepentingan politik ekonomi global yang ditunjukkan dalam Pilar Ekonomi, Pilar Sosial dan Budaya, serta Pilar Politik dan Keamanan ASEAN. ASEAN telah gagal melindungi hak-hak perempuan dari berbagai kebijakan yang mendukung eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam dan liberalisasi perdagangan.
ASEAN Economic Community Blueprint (AEC) secara jelas berorientasi pada pasar global dan meminggirkan perempuan adat, perempuan pedesaan dan kelompok minoritas. Praktik-praktik perdagangan bebas yang mematikan produksi dan konsumsi lokal terus menguatkan peran Asia Tenggara sebagai produsen dan konsumen pasar global, yang menghilangkan kedaulatan perempuan atas lahan, pangan, pekerjaan, dan lingkungan hidupnya. Perempuan kehilangan lahannya, tidak berdaulat atas pangannya, dan dipaksa bermigrasi dalam upaya mempertahankan kehidupan diri dan keluarganya. Bahkan, ketika bermigrasi, perempuan masih juga tidak mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-haknya sebagai manusia, warga negara, perempuan dan pekerja, termasuk dalam hal kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS.
Konsistensi ASEAN mendorong kebijakan neoliberal secara terbuka terlihat dalam politik perdangangan bebas melalui FTA dengan melupakan prinsip pelibatan masyarakat, dan upaya memenuhi keadilan sosial-ekonomi rakyat, termasuk perempuan. Liberalisasi perdagangan melalui FTA secara nyata melanggar hak-hak perempuan dalam mengelola sumber-sumber produksi pangan mereka, dan bertentangan dengan upaya rakyat dalam merebut kembali hak-haknya dalam mengelola sumber-sumber produksi yang selama ini diabaikan oleh pemerintah.
Proyek-proyek sumber daya alam, khususnya terkait energi, mineral, migas, kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, hingga pengelolaan sumber daya air yang dirancang oleh ASEAN justru semakin memiskinkan perempuan dengan hilangnya lahan-lahan penghidupan, hilangnya akses atas air bersih, kerusakan lingkungan, dan akibatnya terhadap kesehatan. Bahkan, berpotensi mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim.
Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, ASEAN tidak juga mempunyai posisi politik yang kuat di dalam negosiasi perubahan iklim untuk mendesakkan negara-negara industri bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran HAM. ASEAN justru terjebak di dalam skenario perubahan iklim yang dirancang oleh negara-negara industri dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (WB/ADB) untuk terus menguatkan perekonomian mereka dan menyerahkan tanggung jawab merespon dampak perubahan iklim lebih kepada negara-negara berkembang melalui proyek-proyek iklim. Pendanaan iklim yang seharusnya merupakan tanggung jawab dari negara-negara industri sebagai pihak yang paling berperan dalam mengeluarkan emisi gas rumah kaca tidak dikelola untuk kepentingan negara-negara berkembang. Bahkan, negara berkembang dijadikan arena perdagangan, investasi dan jebakan hutang iklim melalui model Green Economy yang diskenariokan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Lemahnya Akses Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Proses ASEAN
Masyarakat sipil telah diakui keberadaannya di dalam Piagam ASEAN. Bahkan, jargon pemerintah negara-negara ASEAN mengatakan bahwa kebijakan dan mekanisme ASEAN berpusat pada rakyat. Tapi pada kenyataannya, rakyat dijadikan sasaran pasar untuk kepentingan perdangangan. Yang menyedihkan, tidak ada keterlibatan rakyat yang penuh dan berarti dalam seluruh proses ASEAN.
Tidak ada suatu mekanisme yang jelas untuk pelibatan masyarakat sipil di dalam proses pengambilan keputusan di tingkat ASEAN. Proses konsolidasi masyarakat sipil belum juga menjadi bagian dari proses ASEAN. Negara-negara Anggota ASEAN tidak pernah secara serius menindaklanjuti hasil-hasil dari ACSC/APF sebelumnya. Hingga kini, hak-hak petani, nelayan, dan buruh migran perempuan di kawasan Asia Tenggara terus dilanggar dan tidak ada jaminan perlindungan yang dapat memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan. Perempuan terus menjadi pihak yang termarjinalisasi serta mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, masyarkat sipil tidak akan pernah berhenti mempertanyakan prinsip ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat.
Desakan Solidaritas Perempuan
Atas dasar situasi tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak agar:
KTT ASEAN 2011, sebagai proses pengambilan keputusan tertinggi di ASEAN, menghasilkan mekanisme partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, khususnya perempuan.
ASEAN merevisi ASEAN Economic Community Blueprint menjadi model pembangunan komunitas ekonomi ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat ASEAN.
ASEAN memastikan dan menjamin implementasi dari reforma agraria yang berkeadilan jender, mencakup pengelolaan sumber-sumber produksi pangan serta perdagangan yang adil dan berpihak pada kepentingan perempuan.
4. ASEAN membangun instrumen tentang perubahan iklim yang berperspektif keadilan iklim dan keadilan jender, serta memastikan adanya standar perlindungan hak-hak perempuan dalam pendanaan, kebijakan dan proyek-proyek iklim
5. ASEAN mendesak negara-negara industri untuk memenuhi tanggung jawabnya menurunkan emisi gas rumah kaca secara drastis serta menyediakan dukungan teknologi dan pendanaan bagi negara berkembang dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif, sensitif, dan responsif jender.
6. Negara-negara anggota ASEAN segera meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, serta menghapuskan kebijakan pemutusan kontrak dan deportasi atas dasar kehamilan dan penyakit menular, khususnya HIV/AIDS, dan menyediakan jaminan perlindungan sosial termasuk ketentuan untuk pelayanan kesehatan dan asuransi medis, serta mempromosikan lingkungan kerja yang aman bagi buruh migran dan anggota keluarganya.
7. ASEAN segera melahirkan Instrumen ASEAN tentang Promosi dan Perlindungan hak-hak buruh migran pada tahun 2011 sebagai instrumen yang mengikat secara hukum, mencakup perlindungan bagi seluruh buruh migran dan anggota keluarganya tanpa memperhatikan status hukum mereka, mampu menghapuskan praktik-praktik kekerasan, diskriminasi dan segala bentuk stigmatisasi terhadap buruh migran perempuan dan anggota keluarganya, serta harus sentisitif jender di dalam proses dan praktik migrasi, termasuk mengimplementasikan rekomendasi umum No. 26 dari CEDAW tentang pengakuan atas buruh migran perempuan.
8. ASEAN membangun instrumen untuk melindungi keragaman masyarakat sipil, termasuk di dalamnya kebebasan berkeyakinan dan keragaman budaya, serta perlindungan hak otonomi tubuh dan seksualitas perempuan.
Jakarta, 5 Mei 2011
Risma Umar
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan
Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh
Solidaritas Perempuan Palembang, Sumatera Selatan
Solidaritas Perempuan Kinasih Jogjakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
Solidaritas Perempuan Kayangan Api Bojonegoro, Jawa Timur
Solidaritas Perempuan Jabodetabek, DKI Jakarta
Solidaritas Perempuan Mataram, Nusa Tenggara Barat
Solidaritas Perempuan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar, Sulawesi Selatan
Solidaritas Perempuan Kendari, Sulawesi Tenggara
Solidaritas Perempuan Palu, Sulawesi Tengah
Posted by khalisah khalid at 3:13 PM 1 comments
Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Perempuan memiliki kedekatan emosional dengan alam, terutama perempuan yang tinggal di pedesaan. Para perempuan pedesaan sangat menggantungkan hidup mereka pada lingkungan atau alam sekitar untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, dewasa ini banyak terjadi ekploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam di Indonesia. Hal ini berdampak pada semakin hilangnya akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya alam.
Buku ini memberi gambaran bagaimana perempuan dalam mengelola sumber daya alam di sekitarnya, dan juga memaparkan ketidakadilan gender yang dialami perempuan di pedesaan saat perusahaan dan industri ekstraktif, seperti perkebunan besar kelapa sawit, dan pertambangan masuk ke wilayah mereka.
Data Buku :
ISBN : 978-979-8071-76-8
Penerbit:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia - 2011
Jl. Tegal Parang Utara No. 14
Jakarta 12790
Telp. : (021) 791933, 7941672
E-mail : informasi[at]walhi.or.id
Website : www.walhi.or.id
Untuk mendapatkan buku ini baik versi cetak maupun e-book, silahkan menghubungi email jumi[at]walhi.or.id (Sdr. Jumi Rahayu)
Posted by khalisah khalid at 11:58 AM 2 comments
Keadilan Gender dalam Keadilan Iklim
Perubahan iklim tidak bisa dilihat sebagai sebuah proses yang netral gender. Saat Negara absen menangani krisis akibat dampak perubahan iklim, maka perempuan menjadi korban ketidakadilan berganda. Dokumen ini menuliskan berbagai fakta lapang dampak perubahan iklim terhadap perempuan dari berbagai daerah di Indonesia; beragam latar belakang sosial, budaya dan ekonomi sertan upaya adaptasi mereka. Ia menyajikan argumentasi, mengapa Negara harus mengakui perempuan mengalami dampak berbeda dari lelaki. Mengakui perempuan memiliki peranan, pengetahuan dan pengalaman penting merancang dan menerapkan solusi terhadap perubahan iklim. Serta apa implikasinya jika Negara tidak mengindahkan hal itu.
selengkapnya di http://www.csoforum.net/multimedia/media-publikasi/248-keadilan-gender.html
Posted by khalisah khalid at 11:47 AM 0 comments
Firms overlook the hands that feed
Adianto P. Simamora, The Jakarta Post, Jakarta | Sun, 03/20/2011 2:24 AM |
Headlines
Limbuk, a housewife and farmer in Sepaso Induk village in East Kutai, East
Kalimantan, works 13 hours a day tending to her family’s rice paddy and
corn fields. She protects her crops from pests, mostly monkeys and wild
boars.
Her husband and four children, have something else to do.
Limbuk also plaits baskets to sell and prepares the meals for the family.
When it comes to family business, she takes most of the responsibility.
However, she, like other women in her village, is left out of any
decisions regarding the future.
Her house sits two kilometers away from a giant coal mine. The mine
operator is excavating large pits, one of them to be located in the
village.
The firm, however, only invited male villagers to discuss their pending
relocation. It also brought some of the men to Jakarta. Upon their return,
the men did not share what they discussed in Jakarta.
Limbuk’s story is recounted in a chapter of Women in natural resources and
environment management.
Bogor Agricultural University (IPB) of gender, food security and nutrient
division expert Ikeu Tanzih said women were increasingly marginalized in
the presence of extractive companies, from mining to palm oil plantations.
“Extractive industries are not friendly to women. The companies limit
women’s access to land for farming,” she said.
The firms also impede their access to clean water, she added.
She said the women also received unfair treatment from their husbands,
particularly those hired by the company.
A study by Ikeu found housewives from low-income families were more
responsible for food, education and housing compared to the husbands.
The study said women played a role as the family’s breadwinners, managing
natural resources and creating income. The study also showed 74 percent of
households relied on the women for their meals.
“Low-income families are prone to food crises if agricultural policies
continue to ignore gender issues.”
A report by the UN’s Food and Agriculture Organization in 1995 said women
produced more than 50 percent of the food for the world.
Indonesian Forum for the Environment (Walhi) activist Khalisah Khalid said
women had a wealth of local knowledge in preparing food for families, but
their roles were never acknowledged in the community.
Posted by khalisah khalid at 10:22 AM 0 comments
Pernyataan MANUSIA dan SHI atas Bencana Nuklir di Jepang
Kontak media:
Dian Abraham (0815-9487094)
dianabraham@yahoo.com
MANUSIA dan SHI menyampaikan rasa duka dan prihatin yang mendalam kepada seluruh masyarakat Jepang atas bencana alam maupun teknologi yang sedang berlangsung di sana. Sebagai masyarakat yang pernah mengalami gempa dan tsunami yang juga merenggut nyawa ribuan orang, kami dapat ikut merasakan kehilangan yang dialami saudara-saudara kami di Jepang saat ini. Demikian pula, kami sangat khawatir atas perkembangan situasi yang terkait dengan fasilitas nuklir Jepang yang telah menimbulkan korban terhadap masyarakat awam. Apalagi mengingat Indonesia pun terletak di kawasan ”ring of fire” yang sama dan bahkan berencana membangun PLTN.
Di Indonesia, dengan rasa menyesal pula kami menyaksikan sikap angkuh berbagai pejabat dan pakar lokal yang berlomba-lomba memberi penilaian yang masih bersifat dini kepada publik dengan rasa puas berlebihan. Padahal, keadaan darurat nuklir masih terus berlangsung dan keadaan di PLTN Fukushima Daiichi maupun PLTN Fukushima Daini masih dapat memburuk. Begitu pula, belum ada kabar jelas mengenai nasib PLTN Onagawa di prefektur Miyagi yang ibukotanya, Sendai, dilanda tsunami hebat.
Tidak hanya karena analisis yang dikemukakan umumnya sepotong-sepotong, tetapi juga kami meragukan kelengkapan data yang dimiliki mereka. Berdasarkan pengalaman berbagai kecelakaan nuklir dunia, terlihat jelas bahwa baik pemerintah demokratis maupun diktator, seperti Inggris, AS hingga Uni Soviet selalu membuat pernyataan yang meremehkan kecelakaan nuklir yang sedang dialaminya pada hari-hari pertama dan tidak memberikan data yang lengkap perihal fakta-fakta yang sedang berlangsung. Terlepas dari rasa hormat kami terhadap pemerintah (dan masyarakat) Jepang yang memiliki kesigapan dan kedisiplinan dalam menangani bencana konvensional, pemerintah Jepang tidak terbukti berbeda dari pemerintah-pemerintah tersebut di atas dalam masalah nuklir. Bahkan pada tahun 2002 lalu terungkap skandal penipuan data PLTN – yang tak lain dari PLTN yang bermasalah sekarang, Fukushima – oleh operator PLTNnya (TEPCO) untuk menutup-nutupi malapraktek mereka.
Karena itu, tanpa bermaksud merendahkan pengetahuan para pakar lokal, kami yakin tak seorang ahlipun tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di PLTN Fukushima Daiichi. Mereka hanya bisa mereka-reka dan berteori. Hanya pihak operator (yakni TEPCO) berikut pekerja reaktornya, badan pengawas Jepang, dan pemerintah Jepang yang paling mengetahui apa yang sedang terjadi di sana.
Oleh karenanya, demi kepentingan publik, kami memperingatkan para pejabat atau pakar untuk tidak menjejali masyakat awam dengan opini, komentar, atau analisis sepotong-sepotong yang tak dapat dipertanggungjawabkan yang bersifat memperdaya masyarakat hanya karena memiliki agenda tersembunyi terkait rencana PLTN di Indonesia. Adalah hal yang menggelikan sekaligus membodohi masyarakat mendengar suatu kecelakaan yang saat ini dikategorikan level 4 (dari tujuh level skala INES) disebut oleh “pakar nuklir” sebagai “tidak terjadi apa-apa”.
Kami mengecam pernyataan Menristek Sabtu lalu yang masih menegaskan rencana PLTN Indonesia. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan arogan pejabat IAEA beberapa waktu setelah kecelakaan Chernobyl bahwa “dunia sanggup menghadapi kecelakaan seperti Chernobyl setiap tahun”. Faktanya, hingga tahun ke-25, korban Chernobyl masih berjatuhan. Bahkan publikasi terbaru yang diterbitkan di AS mengungkap angka terbaru yakni korban meninggal yang mencapai nyaris satu juta orang.
Demikian pula, seperti halnya di Chernobyl, pengkambinghitaman juga mulai terasa dengan adanya pernyataan bahwa PLTN Fukushima seharusnya sudah harus ditutup karena sudah 40 tahun. Padahal, bukan rahasia lagi bahwa pihak yang sama pula yang bersikeras bahwa umur suatu PLTN adalah hingga 60 tahun. Dan industri nuklir pula yang saat ini memaksa berbagai pemerintah, mulai dari Jerman hingga AS, untuk memperpanjang masa pakai PLTN yang semula 30-40 tahun menjadi 60 tahun tanpa mempedulikan keselamatan publik.
Dan kami pun menyesalkan pernyataan menyesatkan bahwa PLTN dianggap sukses bila mampu mati otomatis atau dimatikan operasinya saat gempa. PLTN bukanlah obyek percobaan dalam suatu laboratorium yang patut dipuji hanya karena dianggap tidak lagi membahayakan manusia. PLTN adalah alat produksi yang berharga triliunan rupiah. PLTN yang mati otomatis setelah bencana gempa tidak berarti dapat dihidupkan kembali. Apalagi dalam hal reaktor di PLTN Fukushima yang mengalami ledakan. Hampir dapat dipastikan bahwa reaktor yang rusak sudah tidak dapat dipakai sama sekali. Setelah itu, PLTN tersebut masih harus ditangani secara khusus. Hilangnya investasi sedikitnya puluhan triliun rupiah, hilangnya jutaan kilowatt listrik yang dihasilkannya, dan bertambahnya biaya ekstra penanganan PLTN yang hancur tersebut sama sekali tidak menggambarkan keunggulan PLTN. Belum lagi jika beban itu ditanggung publik. Maka, jelas sekali bahwa itu adalah investasi yang sangat buruk yang sekaligus juga mempertaruhkan nyawa manusia.
Oleh karena itu kami menuntut kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan seluruh rencana PLTN dan mengalihkan seluruh dana publik tersebut untuk penelitian dan pengembangan energi terbarukan. Masyarakat Indonesia sudah kenyang dengan berbagai jenis bencana baik yang berawal dari peristiwa alam maupun kecerobohan manusia. Kami tidak butuh diperkenalkan lagi dengan jenis bencana baru seperti bencana nuklir.
Kepada pemerintah Jepang maupun seluruh pihak asing lainnya, kami menuntut penghentian total rencana ekspor PLTN ke Indonesia, termasuk berbagai bantuan finansial dan teknis kepada pemerintah Indonesia.
Akhirnya, kami menghimbau masyarakat luas untuk berdoa agar keadaan tidak bertambah buruk dan menambah berat beban masyarakat Jepang yang sedang berduka.
***
MANUSIA (Masyarakat Antinuklir Indonesia)
SHI (Sarekat Hijau Indonesia) http://sarekathijauindonesia.org/
Posted by khalisah khalid at 12:35 PM 0 comments
Sya VII
Sya ….
Di pojok ruangan aku menangis, aku merasa tiba-tiba takut kehilangan hidupku. Aku takut mati Sya, pergi disaat aku ingin memeluk cintanya dengan kesetiaan. Ketakutanku memuncak entah dari mana asalnya, tapi kurasa yang dikatakan laki-laki di rumah sakit itu telah membuat temperatur badanku naik tidak menentu, dan pengharapan hidupku seperti sedang diletakkan pada gelas yang retak. Aku telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan kali ini sungguh kekalahan ini sulit kulalui.
Sya ….
Aku tau dia juga merasakan resah yang sama, takut yang membuatnya menatapku dalam keheningan gelap. Aku menuliskan keresahanmu dalam lemari hatiku agar aku bisa terus membukanya. Mengapa takut pada kematian, bukankah kematian adalah sebuah keniscayaan yang menghampiri setiap makhluk yang bernyawa. Jadi mengapa mesti takut menghadapinya, ikhlas menjalani semua ujian hidup karena semua yang berasal dari-Nya akan kembali kepada-Nya.
Sya…
Ajari aku tentang kehidupan, bagaimana memahami nilai-nilainya dan mampu menunjukkanku padaku bagaimana menghargainya. Yakinkan aku, bahwa Tuhan hanya mengujiku dalam sakit lahiriah, namun tetap menjagaku dalam kepanjangan kesetiaan keyakinan nilai kehidupan yang hakiki. sungguh aku ingin terus hidup dalam jiwa. Ada dalam sebuah pengharapan, meski tanganku sulit menggapainya.
Menjelang semua makhluk sibuk dengan ritual agamanya, menyembah pada sang pemilik kehidupan. Terdengar dengan samar-samar tanpa pengeras suara alunan adzan dari surau diujung kampung sana, yang membangunkan orang dari tidur lelapnya bersamaan dengan kokok ayam jantan yang ceria setelah persengamaannya semalam dengan sang betinanya. Di ujung sana, kala dua jingga bertemu di dataran tinggi yang sama.
Pagi-Mu sungguh indah, puji-puji syukur mengalir dalam bait-bait doa
berlomba dengan embun yang satu satu turun ke bumi, dan Kau masih menggenggam hatiku dengan cinta dan pengharapan.
Posted by khalisah khalid at 12:59 PM 0 comments
Pusaran Modal dan Tubuh Perempuan
Oleh: Khalisah Khalid
“Saya menggunakan cream pemutih, biar bisa lebih cantik”. Itu ungkapan seorang perempuan yang tinggal di salah satu daerah miskin di Jakarta. Bagi banyak orang, mungkin itu hal yang biasa karena memang banyak dilakukan oleh perempuan untuk mempercantik dirinya sesuai dengan definisi cantik versi iklan-iklan produk kosmetik bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih.
Tubuh perempuan dijadikan sebagai objek yang paling “empuk” untuk pasar industri ekstraktif, tingkat konsumsi pada perempuan dibangun oleh sebuah pusaran modal. Dari sini kita dapat menilai bagaimana pusaran modal telah mampu merubah pola konsumsi perempuan dan keluarganya, bahkan dalam menilai tubuhnya sendiri.
Sistem ekonomi politik kapitalistik yang menempatkan sumber daya alam sebagai onggokan komoditas, menggunakan perempuan sebagai “alat” untuk melanggengkan alir sistem kapitalisme yang dibangun oleh berbagai industri ekstraktif seperti industri tambang dan perkebunan skala besar. Peran perempuan ditempatkan sebagai objek pekerja yang kebanyakan adalah buruh kontrak atau buruh harian lepas, dengan upah murah dan bahkan seringkali buruh perempuan ini tidak mengetahui berapa penghasilan yang bisa mereka dapatkan dari keringatnya sebagai buruh perkebunan besar.
Ketika perempuan kehilangan sumber produksinya, dan bekerja di industry ekstraktif, perempuan ditempatkan di bagian penyemaian, pembibitan dan panen dengan alasan perempuan lebih teliti dan lebih sabar, semua itu khas dilekatkan pada pekerja perempuan. Sementara justru disanalah tingkat resiko tinggi dialami oleh buruh perempuan, yang setiap harinya bergelut racun yang bersumber dari pestisida tanpa alat pengaman yang cukup untuk melindungi kesehatan perempuan.
Sayangnya selama ini, persoalan pengelolaan kekayaan alam belum dipandang dalam sudut pandang perempuan. Yang dibicarakan oleh pengurus negara hanya berurusan dengan harga, supply, demand, dan transaksi politik. Sangat jauh dari krisis dan seolah-olah tidak ada relasinya dengan apa yang dialami oleh perempuan dan komunitasnya.
Bahkan ketika terjadi bencana ekologis, cerita perempuan tidak pernah ada. Dalam kasus lumpur Lapindo misalnya, urusannya seolah-olah bergeser pada isu “jual beli” tanah yang lagi-lagi berurusan dengan laki-laki. Sementara hak-hak dasar perempuan yang tercerabut dari ruang hidupnya diabaikan. Padahal, hilangnya sumber-sumber kehidupan, mengakibatkan berkurang atau hilangnya esensi hidup perempuan itu sendiri sebagai manusia.
Pertarungan pada tubuh perempuan dalam isu lingkungan hidup dan pengelolaan kekayaan alam paling tidak bisa dilepaskan dari peta geo politik dunia dengan berbagai Forum Internasional, mulai dari deklarasi Stockholm pada tahun 1972, KTT Nairobi, KTT Bumi Rio de Janeiro sampai KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg yang diniatkan untuk membahas problem pokok global yakni lingkungan dan kemiskinan, dalam perjalanannya semakin bergeser.
Isu pembangunan bergulir semakin kuat dan mendominasi dinamika ekonomi politik global dan nasional. Namun dalam perjalanannya, gambaran pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan, semakin jauh dari harapan. Kuatnya intervensi modal transnasional dan multinasional lebih mendominasi, untuk membatasi peran negara hanya sebatas pada ruang regulator dan fasilitator.
Ide pembangunan berkelanjutan justru banyak menjauhkan perempuan dari akses dan kontrolnya terhadap kekayaan alam. Isu pembangunan berkelanjutan yang dipraktekkan saat ini jelas mereduksi akar masalah yang dialami oleh perempuan, ketika pengatahuan sebagai eksistensinya yang khas sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat bernegara tergantikan oleh peran-peran teknologi. Revolusi Hijau menjadi contoh yang paling nyata, atas intervensi kapital atau pasar yang telah mengecilkan perempuan sebagai penjaga pangan (food gathering) yang melanggengkan reproduksi sosial perempuan dalam komunitasnya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, pada tahun 2007 paling tidak ada 52 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan terkait dengan isu pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Angka ini dapat menjadi sebuah petunjuk bahwa kekerasan yang dialami oleh perempuan mulai dari rumah hingga pekarangan dan negaranya, tidak lepas dari apa pertarungan perebutan pengelolaan kekayaan alam.
Sebuah potret kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup. Potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah.
Posted by khalisah khalid at 5:27 PM 0 comments
Jejak Utang di Konsevasi
Oleh: Khalisah Khalid
Politik Utang
Debt for Nature Swap (DNS) yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dengan melibatkan salah satunya lembaga konservasi intrernasional sebagai partner swapnya terus bergulir, ditengah kritik publik yang keras terhadap utang luar negeri. Tidak kurang dari 21,6 juta US dollar utang Indonesia kepada Amerika Serikat yang dikonversi untuk membiayai program konservasi di 3 (tiga) kawasan hutan di Sumatera.
Dalam konteks utang luar negeri, mekanisme DNS merupakan sebuah skenario dari kreditor untuk “memaksa” negara pengutang tetap membayar utang mereka, karena mereka takut apabila negara pengutang gagal membayar utangnya. Skema ini merupakan sebuah cara untuk mengurangi utang luar negeri yang dipilih sebagai skema yang dianggap paling aman bagi negara pemberi utang dalam hal ini Amerika Serikat. Kepentingannya jelas, Indonesia terus membayar utangnya kepada USA, dengan memberikan fasilitas kemudahan.
Hal lain yang mesti dikritisi adalah syarat-syarat yang menyertai mekanisme swap tersebut. Selama ini setiap upaya mengkonversi utang luar negeri tidak disertai dengan menyebutkan syarat-syaratnya secara transparan kepada publik. Dalam konteks DNS, sejauhmana transparansi syarat-syarat tersebut diketahui oleh public, khususnya bagi masyarakat yang ditetapkan kawasannya sebagai wilayah penerapan konservasi di Sumatera yang dibiayai dari DNS.
Politik Konservasi
Dari pengalaman praktek-praktek kebijakan perluasan konservasi tersebut yang berlangsung sampai saat ini, konservasi diperuntukkan bagi kepentingan investasi baik melalui bisnis dengan menjual taman nasional atau mengalihkannya menjadi industri tambang dengan atas nama lingkungan dan berlindung dibalik kedok konservasi.
DNS tidak lebih merupakan sebuah alat untuk melahirkan multy effect player dalam bidang ekonomi, yakni pengusaaan kekayaan alam. DNS sebagai “pembuka jalan” menuju pengerukan sumber daya alam, khususnya pertambangan karena disanalah letak cadangan mineral dan gas. Paling tidak itulah yang terekam dalam jejak sejarah penetapan kawasan lindung oleh kolonial Belanda sebagai kawasan cadangan minyak dan gas.
Yang mesti diingat, masalah pokok konservasi dan lingkungan hidup di Indonesia bukan terletak pada pembiayaannya, melainkan pada kebijakan pengelolaannya. Selama ini praktek konservasi justru menjauhkan akses dan kontrol rakyat dari ruang hidupnya.
Ecological Debt
Mekanisme konversi utang luar negeri untuk lingkungan hidup, justru tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan restorasi lingkungan hidup, dalam hal ini manajemen pengelolaan kekayaan alam yang demokratis dan menempatkan masyarakat, paling tidak itulah pengalaman dari berbagai negara seperti Filipna, Kosta Rika, Guatemala dan hasil seminar yang dilaksanakan oleh Brasilian Institute for Economic dan Social Analysis pada tahun 1991. Lalu apa solusinya, pasti itulah yang menjadi pertanyaan yang selalu muncul ketika bicara soal pembiayaan pemulihan lingkungan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia sejak tahun 2001 telah mengkampenyekan tuntutan pembayaran utang ekologi oleh negara-negara kreditor, sebagai sebuah tawaran alternative untuk merespon DNS. Selama ini kita mengetahui bahwa aliran dana utang dalam sejarahnya telah digunakan untuk membiayai industry ekstraktif negara industry seperti tambang yang telah mengeruk habis kekayaan alam dan menyisakan kerusakan lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah Indonesia harusnya berposisi menuntut pembayaran utang ekologi terhadap negara-negara maju dengan pilihan penghapusan utang luar negeri dan tidak lagi mengambil utang luar negeri sebagai pilihan membiayai pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara lainnya, dan hal ini telah dilakukan oleh Bolivia dalam setiap perundingan dunia menangani perubahan iklim.
Posted by khalisah khalid at 10:27 AM 2 comments
Perempuan, Tambang dan Negara yang Abai
Perempuan, Tambang dan Negara yang Abai
Oleh: Khalisah Khalid
Industri Maskulin
Industry tambang terus mengeruk isi bumi tiada henti, dibarengi dengan terus menerus berbagai krisis yang mengikutinya. Marjinalisasi fungsi alam dan ekosistem bagi kehidupan bersama, mengorbankan kepentingan kehidupan perempuan, penggunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan system yang meminggirkan perempuan, menghancurkan kearifan tradisi dan budaya, dan kerap kali menggunakan kekuasaan yang berbasis pada kekerasan yang berujung pada konflik sumber daya alam. Inilah praktek industry patriarkis yang kini diwakili oleh berbagai industry ekstraktif, tambang salah satunya.
Galuh Wandita menyebut industry tambang sebagai bentuk industry yang maskulin dimana secara fisik dalam industry tambang menggunakan penetrasi alat berat untuk mengeruk isi bumi dan sifat pekerjaannya yang menggunakan dan sifat pekerjaannya yang membutuhkan teknologi canggih, ‘keperkasaan’, dan kekuatan penghancur yang kesemuanya bercirikan maskulin. Maskulinitas memang menjadi salah satu ciri yang melekat dalam pengelolaan sumber daya alam di berbagai belahan dunia, dengan menempatkan perempuan sebagai korban akibat dari praktek industry ekstraktif tersebut.
Pengucilan dan Pengabaian
Hampir dapat dipastikan, rentang kekerasan yang dialami oleh perempuan yang hidup di lingkar tambang, dimulai sejak masuknya industry tambang di wilayahnya. Pada tahun 2002 Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) Kalimantan telah mencatat, bahwa Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan mempunyai sejarah pelanggaran hak asasi manusia dan khususnya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan akibat dari beroperasinya industry tambang antara lain kekerasan berbasiskan seksualitas perempuan seperti pelecehan seksual, perkosaan dan kawin lelang yang dialami oleh perempuan yang hidup di lingkar tambang. Kesehatan reproduksi perempuan yang hidup di sekitar wilayah tambang juga terancam akibat tercemarnya sumber air dari limbah tambang.
Fenomena munculnya lokalisasi prostitusi yang terjadi di hampir seluruh kawasan industry ekstraktif terutama tambang, memandang tubuh perempuan sebagai property yang bisa dijadikan komoditas untuk mengontrol mulai dari tatanan keluarga hingga komunitas yang hidup di lingkar tambang. Nampaknya industry tambang juga menyadari bahwa tubuh dan seksualitas perempuan dapat dijadikan sebagai alat atau menjadi sebuah medan pertarungan yang kritis untuk mendapatkan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik mulai dari pekarangan rumah hingga level negara.
Pengabaian dan pengucilan terhadap pengetahuan perempuan dalam berupaya menyelamatkan sumber-sumber kehidupan mereka, yang berbasis berbasis pada pengalaman dan kekhasan perempuan itu sendiri, termasuk bagaimana pengetahuan Ilmu-ilmu pengobatan banyak dikuasai perempuan dan pengetahuan menyadap aren menjadi gula merah seperti yang dialami oleh perempuan yang tinggal di lingkar tambang di Kalimantan Timur.
Setelah dijauhkan aksesnya, perempuan juga dibatasi kontrolnya terhadap sumber-sumber kehidupannya. Sehingga ketika bicara soal industry tambang, urusannya direduksi seolah-olah hanya terkait dengan pembebasan lahan, kompensasi dan ganti rugi, padahal di ruang itulah perempuan banyak tidak memiliki kontrol terhadap tanahnya.
Yang memprihatinkan tentu saja ketika perempuan kehilangan wilayah kelolanya dengan bertani, berkebun, membuat arang dan dan membuat gula merah, sehingga banyak perempuan yang tergantung hidupnya dari laki-laki baik suami, ayah, maupun anak laki-laki. Seperti yang disampaikan oleh seorang ibu yang tinggal di Kutai Timur “perempuan tidak bisa makan kalau laki-laki tidak pergi bekerja senso kayu atau kerja lain yang dapat uang, karena semua sekarang harus dibeli, sungguh susah hidup sekarang.”
Dimana Negara?
Salah satu program Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan dan pemenuhan hak anak melalui evaluasi pelaksanaan kebijakan peningkatan kualitas hidup perempuan.
Didalam Konstitusi, jelas disebutkan berbagai hak warga negara untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan terhadap sumber-sumber kehidupannya dan pengurus negara berkewajiban untuk menjalankan mandat Konstitusinya. Sayangnya, apa yang tertera dalam Konstitusi tidak dijadikan sebagai landasan atau referensi untuk memenuhi kewajibannya. Hendri Saparani menyebutkan apa yang dilakukan oleh negara saat ini merupakan sebuah proses mengaburkan jalan untuk memenuhi kewajiban Konstitusinya, dan terus mereduksi peran-perannya melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya.
Negara terus membiarkan praktek kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam, yang masuk melalui rantai yang bernama pelanggaran hak asasi manusia dan hak asasi perempuan terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup.
Posted by khalisah khalid at 11:55 AM 0 comments
“Negara Telah gagal dalam Memenuhi, Melindungi dan Menghormati Hak Pangan Perempuan”
Pernyataan sikap Solidaritas Perempuan
Pada Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2010
Sejak dicanangkan konsep ketahanan pangan 14 tahun yang lalu dalam Resolusi Badan Pangan PBB tahun 1996 pada World Food Summit, ternyata kelaparan masih tetap mengancam warga dunia, termasuk Indonesia. Konsep pemenuhan pangan yang lebih diserahkan pada mekanisme pasar justru menambah angka kelaparan dunia yang pada tahun 2010 ini mencapai 925 juta, disbanding tahun 1996 yang hanya 850 juta jiwa. Sementara di Indonesia sendiri pada tahun 2010 ini angka kelaparan masih cukup tinggi yaitu 13,8 juta jiwa atau sekitar 6% dari jumlah penduduk menderita rawan pangan (World Development Indicator, 2007) dan 23,2 jiwa di pedesaan masih hidup di bawah standar kemiskinan (FAO). Data ini dikuatkan dengan berbagai berita tentang kasus kelaparan, kurang gizi dan gizi buruk yang secara sporadis masih terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dari Aceh, Riau, Lampung, Jawa Barat, Jatim, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat. Fakta ini jelas merupakan indikasi nyata dari kegagalan negara dalam melaksanakan tanggung jawabnya memenuhi hak pangan rakyat.
Fenomena yang lebih memprihatinkan adalah bawah korban kelaparan yang paling rentan dan meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan yang masih diskriminatif dan belum mengacu pada Convention on Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW). Situasi ini diperparah dengan kulture masyarakat patriarkhi masyarakat yang memposisikan perempuan sebagai pelayan keluarga yang lebih mendahulukan angggota keluarganya dalam konsumsi. Hal ini sungguh ironis sementara perempuan adalah yang mengandung dan melahirkan generasi justru paling akhir dalam mendapatkan kecukupan gizi.
UU Pangan NO.7 tahun 1996 ternyata belum mampu memberi jaminan dalam pemenuhan pangan rakyat. Dalam undang-undang ini belum ada ketegasan tentang tanggung jawab negara dalam memenuhi (fulfill), melindungi (protect), dan menghormati (respect) hak pangan rakyatnya. Akibatnya indikator pemenuhan pangan seperti ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), penerimaan(acceptibility) dan mutu(quality) masih jauh dari harapan bagi masyarakat yang hidup dibawah kemiskinan.
Solusi yang diambil pemerintah dalam mengatasi kasus-kasus kelaparan atau kelangkaan pangan hanya bersifat sementara bahkan berpotensi menambah persoalan baru, seperti impor beras dan program raskin. Pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dan tidak berusaha memperbaiki sistem secara mendasar seperti mekanisme distribusi dan produksi pangan yang secara menyeluruh akan mempebaiki ketersediaan, keterjangkauan, kesesuaian pangan lokal setempat, dan kualitas pangan rakyat. Sebaliknya, kebijakan pasar bebas yang disepakati lewat WTO dan FTA juga telah menguras sumber pangan rakyat dengan berbagai kegiatan perdagangan seperti ekspor hasil laut dan perkebunan. Sungguh tidak masuk akal sementara banyak rakyat yang menderita gizi buruk dan kurang gizi justru mengeskpor pangan berkualitas yang sangat dibutuhkan oleh rakyat sendiri.
Selain itu, perubahan iklim juga menambah ancaman pengurangan ketersediaan pangan baik langusng maupun tidak langsung. Iklim yang tidak menentu seperti curah hujan berlebihan atau sebaliknya kekeringan dan munculnya hama mengncam stok pangan. Ironisnya, anggaran pemerintah terkait dana ikli lebih terkonsentrasi pada dana mitigasi, bukannya adaptasi terhadap dampak iklim. Lebih para lagi, kebijakan iklim dalam program mitigasi juga berpotensi mengancam alat-alat produksi pangan seperti konversi lahan dari pertanian dan hutan produksi menjadi perkebuna n industris seperti sawit, tebu, jagung, dan jarak.
Fakta lain yang terjadi di negara ini adalah ’ketidakberdayaan’ pemerintah dalam mengontrol harga pangan pokok rakyatnya yang sangat ditentukan oleh pasar. Kenaikan harga pangan yang sering terjadi ini tidak akan berpengaruh bagi masyarakat kelas atas, tetapi sangat berdampak bagi rakyat miskin. Sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang memberi sangsi tegas dan serius bagi piha-pihak yang telah meresahkan rakyat banyak dengan mencari keutungan pribadi. Lebih memprihatinkan kenaikan harga pangan ini, selain merugikan masyarakat banyak sebagai konsumen, sama sekali juga tidak dinikmati oleh petani sebagai produsen pangan. Ini juga merupakan bentuk kegagalan negara dalam memenuhi, melindungi dan menghormati hak pangan rakyat.
Untuk itu, melihat berbagai akar persoalan pangan di berbagai wilayah seperti di Palembang, Jateng, Jatim, NTT, NTB, dan Sulawesi, maka yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah bagaimana rakyat bisa mengakses sumber-sumber produksi seperti tanah dan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, kredit) sehingga mampu memproduksi pangannya sendiri. Memberikan rakyat alat-alat produksi akan memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk memproduksi pangannya sendiri sesuai dengan sosial budaya dan memutus rantai ketergantungan pada pangan impor. Seharusnya bangsa ini malu mengaku sebagai bangsa agraris bila rakyatnya yang bermata pencaharian sebagai petani sebagai produsen petani justru menerima beras miskin yang berasal dari beras impor!
Melihat situasi dan kondisi di atas, amka pada Hari Pangan Sedunia ini, Solidaritas Perempuan menyerukan dan mendesak kepada negara untuk:
1. Segera melaksanakan pembaharuan agraria yang melibatkan dan memberi akses perempuan dalam pelaksanaanya.
2. Segera merevisi UU Pangan No. 7 tahun 1996 baik segara ideologis, dasar filosofis, maupun materi untuk lebih meneka nkan tanggung jawab negara dalam memenuhi, melindungi, dan menghormati hak pangan rakyat
3. Segera menghentikan program bantuan beras miskin dan menghentikan ketergantunga pada pangan impor, serta lebih memberdayakan petani dengan memberikan akses alat-alat produksi sehingga merka bisa berdaulat atas pangnnya sendiri
4. Menata ulang kembali kebijakan pangan secara keseluruhan, seperti sistem distribusi pangan dan kebijakan pasar bebas untuk melindungi produk pangan dalam negeri.
Jakarta, 16 Oktober 2010
Sekretariat Nasional
Jl. Siaga II No.36 Pejaten Barat – Pasar Minggu
Jakarta Selatan
Email : soliper@centrin.net.id, Telp: 021-7918308. Fax: 021-79831479
Posted by khalisah khalid at 6:38 PM 0 comments
Politik Banjir
Politik Banjir
Oleh: Khalisah Khalid
Pembelokan Kepentingan
Menarik, apa yang dinyatakan oleh Jusuf Kalla bahwa banjir merupakan imbas dari kerusakan lingkungan. Kalla juga mengatakan, tata kota di Jakarta dan sekitarnya harus dibenahi. ”Pembenahan kawasan hijau wajib segera dilakukan untuk penyerapan air. Sungai-sungai harus diperlebar, dikeruk, dilestarikan.” (Kompas, 15 Februari 2010).
Saya setuju, salah satu penyelesaian banjir adalah dengan pembenahan tata kelola kota yang saat ini sudah amburadul. Tapi yang menjadi kekhawatiran berikutnya adalah ketika solusi ini ditelan mentah-mentah oleh pemerintah tanpa pernah melihat akar persoalan secara kebih struktural. Yang terjadi adalah persis paska banjir tahun 2007, pembenahan kota dilakukan secara besar-besaran. Penggusuran marak terjadi dimana-mana, dan yang disasar adalah permukiman warga miskin dengan mengatasnamakan pembangunan kawasan hijau dan pengendalian banjir.
Inilah yang mesti dilihat secara lebih jauh, bahwa melihat persoalan lingkungan tidak bisa hanya dari aspek teknis lingkungan. pendekatan ekologi politik digunakan untuk mengkaji aspek politik, ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan dan kekayaan alam (Blaikie and Brookfield, 1987). Bahkan selain menggunakan analisis structural, ekologi politik kontemporer juga menggunakan keterkaitan antara pengetahuan, kekuasaan, dan wacana.
Ruang terbuka hijau (RTH), memang menjadi kebutuhan mendesak bagi kota Jakarta yang memiliki laju kerusakan lingkungan hidup begitu tinggi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta dalam study cepat yang dilakukan dengan wawancara terhadap 1000 orang warga krisis di Jakarta, mendapatkan hasil bahwa kualitas hidup di Jakarta memang semakin buruk. Tingkat polusi udara yang begitu tinggi, persoalan sampah dan banjir yang setiap tahunnya mendatangi kawasan padat huni ini.
Jakarta dan kota-kota besar lainnya juga mengalami fragmentasi ruang publik yang begitu besar, akibat konversi untuk kepentingan kawasan komersil, ruang interaksi sosial warga Jakarta, yang sekaligus memiliki fungsi ekologis, telah beralih menjadi pusat perbelanjaan yang kemudian didefinisikan sebagai ruang publik.
Nampaknya, ini bukan lagi persoalan perbedaan interpretasi. Ini sudah menyangkut persoalan perbedaan kepentingan, dan pemerintah dalam hal ini lagi-lagi memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan warga miskin, sehingga kepentingan warga miskin dapat dikalahkan oleh kepentingan lain yang lebih besar yakni kepentingan modal.
Wacana tentang lingkungan hidup kini diadopsi oleh pemegang kekuasaan dan pasar, dengan bungkusan modernisasi ekologis (ecological modernity), dan pembangunan berwawasan lingkungan (green developmentalism), tujuannya jerlas yakni untuk kepentingan politik dan pasar, dengan menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik.
Bahkan dengan mengusung pendekatan Green Developmentalism, isu lingkungan kemudian bergeser menjadi komoditas baru diantaranya bisnis perumahan yang kini semakin marak diiklankan lewat media massa. Sebagai komoditas ekonomi, sasarannya juga jelas yakni kelas menengah keatas yang tingkat konsumsinya melampaui daya dukung lingkungan. Bukan dalam rangka memenuhi hak atas lingkungan yang hidup dan sehat sebagaimana yang diamanahkan dalam Konstitusi yang menjadi hak semua warga negara.
Mengelola Kota
Kepentingan ekonomi memang jauh mendominasi kebijakan pemerintah, dibandingkan dengan isu keberlanjutan kehidupan bagi rakyat dan lingkungan. Perebutan kue pembangunan, selalu dimenangkan oleh pasar dan industri yang menguasai tata konsumsi dan tata produksi masyarakat. Penegakan hukum untuk mengimplementasikan peruntukan perencanaan ata ruang wilayah sebagai ruang terbuka hijau, hanya berlaku untuk warga miskin, tidak berlaku untuk investasi.
Karenanya, pengurus negara harus merubah solusi dalam menangani problem perkotaan, dan hal pertama yang mesti dilakukan adalah bagaimana merubah kebijakan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang dipilih. Persoalannya bukan pada seberapa tinggi populasi penduduk di kota-kota besar, tapi seberapa jauh distribusi lahan dan tingkat konsumsi masyarakat dapat dikelola secara adil dan berkelanjutan.
Pengelolaan tata kota tidak hanya dengan melihat aspek teknisnya semata, meskipun itu memang lebih menarik karena putaran uang untuk proyek akan sangat besar. Terlebih, dalam kurun waktu 10-15 tahun kedepan, kota akan menjadi tempat pengungsian terakhir ketika desa tidak lagi dinilai bisa memberikan jaminan atas kesejahteraan dan produktifitasnya, sementara kota memiliki daya dukung ruang yang terbatas. Artinya, yang dibutuhkan adalah kebijakan pengelolaan kota dan tata ruang yang berkeadilan, baik untuk lingkungan maupun keberlanjutan kehidupan rakyat, terutama kelompok rentan seperti miskin kota.
Posted by khalisah khalid at 10:38 AM 0 comments
cintaku mati muda
asaku mati muda
nuraniku mati muda
entah .............
apakah masih ada
waktu untuk sebuah
cita reformasi
yang kematiannya
menghentakkan keyakinan kita
karena
tak seharusnya
dia mati muda juga
(lie 0403)
Posted by khalisah khalid at 7:41 PM 0 comments
Marsinah - Puisi Linda Christanty
Aku tidak tahu bagaimana menari dan memainkan gitar dengan benar
Jari-jariku ini terasa kasar karena bekerja
Dan lagu yang kudengar adalah perintah dan bising mesin setiap hari
Tak bisa mengiringi aku menari
Aku tidak sendirian tapi kami tak boleh bicara
Tentang upah yang rendah, kontrakan yang pengap
Dan mengapa kami tak pernah bisa membeli
Baju atau sepatu yang kami buat sendiri
Kami tak boleh menjadi teman
meski bersama-sama setiap hari
Suatu hari kami mulai bicara dan berteman
Dan aku benar-benar tidak sendirian
Kami menamai hari baru yang tak ada dalam kalender: pemogokan
Hari itu juga beberapa temanku tak pulang kerumah,
Orang-orang berseragam membawa mereka pergi
Aku mencari mereka dan akhirnya tak pernah pulang
Tapi jangan mengenang hari ini dengan sedih
Nyanyikan lagu gembira berirama cepat
Dan mengajak semua orang menari
Biar keringat kita yang menetes hari ini
Terbit dari rasa kebebasan
Karena keringat kita setiap hari mengalir dipabrik-pabrik
Dalam perintah dan bising mesin
jakarta, 6 mei 2010
diminta dengan sangat cepat oleh Wilson dan John Tobing
sumber : indoprogress.blogspot.com
Posted by khalisah khalid at 11:54 AM 2 comments
Partai Hijau, Terobosan Pembaruan Politik (usang) Indonesia
oleh: Andreas Iswinarto
Partai Hijau? Terobosan politik di tengah politik kebangsaan Indonesia yang makin usang, bebal dan busuk? Demokrasi tanpa Demos, Politik Representatif tanpa Representasi.
Anda tentunya tahu perkakas bernama pengungkit. Perkakas kecil, sederhana dan cerdas. Dengan mendayagunakan energi yang kecil tapi mampu mengungkit benda yang berat. Saya berpikir Partai Hijau dapat dianalogikan dengan perkakas ini. Atau menjadi ‘tipping point’ (meminjam Malcom Gladwell) pembaruan politik kita. Atau ‘the turning point” (titik balik peradaban) meminjam Fritjof Capra.
Small is Beautiful, Small is Powerful.
Apa pandangan dan komentar anda? Menurut anda bagaimana menjadikan itu mungkin? Lebih jauh lagi apa yang bisa kita lakukan bersama untuk menjadikan itu mungkin?
(silah menuliskan gagasan cemerlang anda di kolom komenter dibawah artikel ini atau bisa juga ke email kerja.pembebasan[ad] gmail.com)
Akhir kata tidakkah inspiratif bagian penutup global green charter (piagam kaum hijau sedunia) “greens will support each other personally and politically with friendship, optimism anda good humour and not foget to enjoy ourselves in the process!”
selengkapnya di http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/05/partai-hijau-terobosan-pembaruan.html
Posted by khalisah khalid at 11:09 AM 0 comments
beli ikan di pasar Jum’at
Mancing dulu di pinggir kali
aye ame rombongan datang dengan segala hormat
mohon diterime dengan seneng hati
Rombongan calon mempelai laki-laki akan dicegat di depan pekarangan rumah, “eh, bang. Jangan asal nyelonong dong, main masuk-masuk aje ente nggak pake permisi”. “emang ada syaratnye bang”, dijawab “eh, ente boleh masuk kalau udah penuhi syarat-syaratnye”.
Berbalas pantun seperti penggalan pantun di atas, merupakan satu syarat pembuka yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki dan keluarganya sebelum diterima masuk ke dalam pekarangan rumah, selain 2 (dua) syarat lainnya yang tidak kalah beratnya.
Syarat berikutnya adalah saling “adu pukul” alias main silat, yang menang baru boleh masuk. Sudah bisa ditebak, pastinya jagoan dari pihak laki-laki yang menang. Sepukul dua pukul, jagoan dari pihak laki-laki dan perempuan menunjukkan kebolehannya bermain silat.
Eit, biarpun sudah menang jagoan calon mempelai laki main silatnya. Palang pintu belum bisa dibuka sebelum syarat terakhir dipenuhi yakni baca syair Sike yang berbahasa arab yang berisi pujian dan doa-doa agar kedua mempelai bisa bahagia. Nah, setelah semua dipenuhi, barulah calon mempelai laki-laki bersama rombongan dipersilahkan masuk.
Buka palang pintu merupakan prosesi yang satu sama lain seperti menjadi jalan cerita (alur) sebuah peristiwa, dan dari proses kawinan orang Betawi ini kita bisa melihat berbagai budaya menjadi satu kesatuan yang indah. Mulai dari arakan-arakan calon pengantin dengan iringan hadrah dan marawis yang jika boleh dibilang berasal dari budaya arab, mercon alias petasan yang konon merupakan kebudayaan Cina dimana saban acara-acara besar di Betawi tidak pernah ketinggalan. Sampai berbalas pantun dan silat yang banyak ditemui pada kebudayaan Melayu.
Rasanya belum cukup afdol, jika prosesi buka palang pintu ini tidak dilengkapi dengan aneka makanan dan minuman betawi seperti asinan betawi, kue selendang mayan dan bir pletok. Kue selendang mayang dan bir pletok merupakan jenis makanan dan minuman yang sudah jarang ditemui, dan menariknya keduanya memiliki sejarah namanya masing-masing. Konon keduanya juga punya rasa yang enak, hmmmm yummy (hanya bisa membayangkan) karena saya juga tidak bisa mencicipinya. Kami berdua masih harus duduk manis di pelaminan yang berbentuk teras rumah adat Betawi. Teman-teman kami yang kebetulan berasal dari luar Jakarta menyebut ini rumahnya si Doel, mungkin karena mereka penggemar si Doel Anak Sekolahan. Hehehe….
Arakan bersama sepasang roti buaya dibawah pohon kembang kelapa yang bertabur duit recehan, berbalas pantun, berpencak silat, membaca sike menjadi satu cerita yang menarik dan sangat berbekas dalam perjalanan kehidupan kami berdua. Dibumbui sedikit cerita kumpeni di sela-sela waktunya. Semula mau dicut, tapi untuk apa juga menipu sejarah bahwa kumpeni sedikit banyak juga mempengaruhi peristiwa atau kehidupan orang Betawi, pun juga budayanya. Misalnya di waktu-waktu yang lalu, pengatin juga ada sessi menggunakan pakaian bergaya eropa. Juga bir pletok sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan orang-orang Belanda atau orang Betawi menyebutnya dengan kumpeni.
18 April 2010, satu tahun usia perkawinan yang telah terlalui, melihat kembali rekaman proses perkawinan kami (karena waktu itu saya yang menjadi “tuan putrinya”), saya seperti sedang menyaksikan sebuah percampuran berbagai budaya yang mengalir dan hidup bersama di sebuah entitas yang bernama Betawi. Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di Betawi, sungguh saya mensyukuri dilahirkan dari sebuah perpaduan kebudayaan yang sangat kaya. Disini saya mengamini apa yang dituliskan oleh Lance Castle dalam Melting Pot, di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia.
Aaaaah, akhirnya satu pintu telah kami buka dan lalui bahkan dengan dua perpaduan budaya Betawi dan Banjar. Semoga kami masih bisa terus melangkah bersama, karena kami meyakini cinta dapat membebaskan.
(kk, 18 april 2010)
Posted by khalisah khalid at 9:51 AM 0 comments
Kekerasan, Wajah Pengurus Negara dalam Politik Ruang
Kasus yang terjadi di Koja Tanjung Priok Jakarta Utara (Rabu, 14 April 2010), merupakan satu dari sekian banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di Indonesia dengan berbagai politik kepentingannya. Sebelum peristiwa yang terjadi di Priok, berbagai kasus penggusuran dengan menggunakan kekerasan kerap terjadi di berbagai kota di Indonesia, dan korbannya kebanyakan adalah orang-orang miskin yang selama ini tidak memiliki akses dan control terhadap ruang hidupnya (ruang ekonomi, ruang social maupun ruang budaya) masyarakat dengan mengatasnamakan penataan ruang.
Politik tata ruang di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta sarat dengan pertarungan kepentingan. Selama ini penataan ruang di Indonesia didominasi oleh kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan rakyat lainnya, apalagi kalau bukan kepentingan yang memiliki kekuatan baik secara ekonomi yang diwakili oleh pemilik modal maupun kekuatan politik yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah melalui alat-alat kekuasannya seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Belakangan di banyak tempat dalam kasus penertiban dan penggusuran permukiman dan tempat mencari makan warga miskin, Satpol PP menjadi aktor utama dan menampilkan watak dan prilaku yang bercorak militeristik.
Penataan ruang, seharusnya juga dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini tidak memiliki akses dan kontrol yang cukup terhadap proses pembangunan perkotaan. Penataan ruang kota saat ini masih diskriminatif bagi kelompok rentan seperti kelompok miskin kota. Politik penataan ruang tidak memberikan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) terhadap ruang hidup warga negaranya, orang-orang miskin yang selama ini telah memberikan subsidi kepada negara melalui cara bertahan hidup mereka dengan bekerja di sektor informal seperti menjadi pedagang asongan, pengamen dan lain-lain yang sesungguhnya sedang membantu pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
Kekerasan dan premanisme bahkan tidak dibenarkan dengan alasan apapun, karena ketika kekerasan digunakan sebagai pemegang kendali dalam pengelolaan kota, maka jarak antara pengurus negara dan rakyat yang mengalami krisis akan semakin jauh, bahkan berada di ruang yang saling berbeda.
Melihat Fakta-Fakta tersebut, Sarekat Hijau Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Negara menghentikan praktek-praktek kekerasan dan tindakan diskriminatif dalam politik penataan ruangnya
2. Menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara atas ruang hidupnya secara ekonomi, politik, social dan budaya yang mengedepankan demokrasi dan hak asasi manusia
3. Membubarkan Satuan Polisi Pamong Praja yang selama ini selama ini hanya menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan pemilik modal
Contact person:
1. Koesnadi Wirasapoetra (Sekretaris Jendral) : 081288044608
2. Khalisah Khalid (Biro Politik & Ekonomi): 0813 111 87498
Posted by khalisah khalid at 9:51 PM 0 comments